Friday, May 4, 2007

Memandang Partisipasi Anak

‘Dipahami bahwa orang dewasa tahu lebih banyak. Tidak diharapkan bahwa anak-anak bicara di hadapan orang dewasa. Mereka bertanya ‘Siapa yang besar? Siapa yang tua? Kamu atau saya? Kenapa kau lancang bicara?’ (laki-laki, usia 14 tahun, Bangladesh)


Pengantar
Partisipasi merupakan istilah yang relatif baru di Indonesia. Istilah ini baru masuk dalam khasanah bahasa Indonesia dimulai ketika dimasukkan dalam kamus Indonesia-Inggris oleh John M. Echol dan Hassan Shadily pada tahun 1980. Dengan demikian, dalam khasanah sosial, dimungkinkan partisipasi relatif lebih baru lagi.

Karena relatif baru inilah, maka pemaknaan terhadapnya demikian beragam. Sehingga kita sangat kesulitan untuk membedakan mana partisipasi dan mana mobilisasi. Dalam usia yang relatif baru ini, partisipasi bermakna turut serta atau ikut ambil bagian dalam menjalankan program atau kegiatan dari merencanakan sampai pada evaluasi. Dalam alam pikiran masyarakat yang berkembang, partisipasi bermakna lebih sebagai membayar atau sumbangan dalam bentuk uang atau benda. Dalam makna tersebut, partisipasi tak beda jauh dengan mobilisasi.

Persoalan baru timbul dan perbedaan pendapat akan terasa, jika partisipasi tidak sekedar dijunjung sebagai konsep. Tetapi dihadapi sebagai konsep yang dicobaterapkan dalam konteks relasi sosial. Ketika partisipasi diletakkan dalam relasi sosial, maka konsensus berakhir dan diskusi dimulai. Dalam memberikan rasionalisasi atas partisipasi tiap pihak akan mencari persepsinya, perspektif dipertegas dan pendapat segera bersimpang-jalan.

Dominasi Mitos
Ide tentang peran sosial anak ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing. Ide tersebut menjadi asing karena lebih disebabkan oleh, pertama, pembangunan yang dilakukan serta cara pandang orang dewasa dalam lingkup pergaulan sehari-hari baik di lingkungan setempat maupun di rumah, menempatkan peran sosial anak pada posisi marjinal. Dengan demikian marjinalisasi peran anak terjadi lebih disebabkan oleh statusnya sebagai anak, bukan oleh posisi sosial dan kelasnya.

Kedua, berkaitan dengan pandangan terhadap status anak yang dianggap sebagai manusia yang belum matang dan dalam proses tumbuh kembang. Pandangan psikologis ini begitu dominan sehingga nyaris menutupi pandangan sosial. Pandangan ini bermula sejak akhir abad ke-19 yang berkembang di Barat. Dalam periode ini anak dikonseptualisasikan sebagai irasional, belum lengkap dan dalam tahap menjadi. Seiring dengan kolonialisasi, pandangan ini mengalami pengglobalan dan menjadi alat penaklukan.

Sementara, pandangan sosial melihat bahwa kapasitas anak untuk berpartisipasi bukanlah persoalan kesiapan anak, melainkan adalah apakah lingkungan yang diciptakan memberikan ruang bagi anak untuk berpartisipasi atau malah merepresinya? Memberikan ruang bagi anak untuk berpartisipasi merupakan langkah politis yang bisa mensubversi posisi istimewa orang dewasa. Maka tidaklah aneh, kalau kemudian subordinasi atau marjinalisasi peran-peran sosial anak direproduksi terus-menerus melalui sistem pendidikan yang menempatkan guru pada posisi yang desesif.

Upaya Merubah Pandangan
Keterlibatan anak dalam setiap upaya perubahan sosial, sebenarnya bukanlah sesuatu yang mustahil. Di dunia internasional, setiap kebijakan yang dibuat atau upaya pembangunan yang akan berdampak terhadap kehidupan anak, keterlibatan anak dimandatkan untuk dijadikan variabel. Konvensi Hak Anak, misalnya, menempatkan keterlibatan anak sebagai salah satu prinsip konvensi tersebut.

Dengan demikian, pengakuan legal atas keterlibatan anak semestinya menjadi pijakan bagi upaya pembangunan, mulai dari level pemerintah pusat maupun sampai level RT. Namun meskipun demikian, nampaknya harus diakui bahwa melibatkan anak dalam setiap hal di negeri ini bukan datang atas kebaikan hati pihak-pihak di luar anak. Ruang untuk terlibat dalam urusan publik dan bahkan kebijakan yang akan berdampak pada kehidupan anak harus direbut. Tidak oleh siapa-siapa, tetapi oleh anak itu sendiri.

Di beberapa kawasan, upaya merubah status dan pandangan terhadap anak telah dicobaterapkan. Pembelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman beberapa kawasan tersebut adalah anak dibangun dan membangun peran-peran sosialnya melalui komunitas-komunitas anak-anak. Komunitas dan penguatan komunitas ini begitu signifikan jika dilihat bahwa melalui komunitaslah anak bersama sebayanya menyuarakan hak yang semestinya diterima oleh mereka.

Maka, mendorong peran anak untuk terlibat dalam perubahan sejatinya diarahkan kepada. Pertama, penguatan kapasitas anak dan komunitasnya tidak lagi dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak, melainkan bersama anak. Ini bermakna bahwa partisipasi tidak saja dimaknai sebagai tujuan, melainkan juga sebagai proses. Penguatan kapasitas dan komunitas anak ditempuh sebagai langkah pertama lebih karena orang dewasa tidak mungkin memberikan posisi istimewa yang dimilikinya untuk dibagi dengan anak-anak. Dengan demikian, ruang-ruang bagi partisipasi anak harus dilakukan dengan cara direbut, bukan menunggu diberikan oleh orang dewasa. Kedua, tuntutan terhadap orang dewasa untuk memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap partisipasi anak. Langkah ini meskipun sulit tapi bukan berarti tidak mungkin.

Di Ladakh, India, menggambarkan situasi perubahan pandangan orang dewasa terhadap peran anak terjadi. Seorang Dewan Pendidikan Eksekutif menuliskannya sebagai berikut:‘Dulu ada tendensi untuk mengabaikan anak-anak, tapi sekarang kami telah memulai proses ini dengan melibatkan mereka, anak-anak telah memotivasi orangtuanya dan warga desa, mereka telah membuat banyak perubahan yang positif.... Komite Anak-anak untuk pengembangan desa memperbolehkan anak-anak untuk berpartisipasi dengan orang dewasa dalam membuat sistem pendidikan berfungsi.’ (Claire O’Kane, tanpa tahun).

Ketiga, sebagai seorang warga negara, anak-anak berhak untuk mendapatkan jaminan dari negara agar peran-peran sosialnya terlindungi dan tidak tercederai. Mencari landasan untuk masalah ini tidaklah sulit. Pertama, pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990. Sebagai negara peratifikasi, mempunyai kewajiban untuk menyetujui dan mendukung sepenuhnya isi konvensi yang ada dalam konvensi, menjalankan isi konvensi tersebut, menyesuaikan perundang-undangan nasional dengan isi konvensi serta membuat laporan periodik tentang implementasi konvensi di negara-negara bersangkutan. Kedua, pada tahun 2002, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU No. 23 tentang Perlindungan Anak. Dengan demikian, partisipasi anak sebenarnya telah memiliki basis legalitasnya.

Penutup
Memang diakui bahwa semua kita tidak secara tiba-tiba menjadi warga yang bertanggungjawab dalam waktu semalam hanya karena mencapai usia tertentu. Semua kita (anak-anak dan orang dewasa) mesti belajar untuk menjadi warga melalui proses kita sehari-hari di lingkungan rumah, komunitas, sekolah dan di level pemerintahan.

Dengan cara belajar semacam itu, diharapkan semua kita sampai pada suatu kesadaran bahwa mengabaikan pandangan anak sama dengan membahayakan kualitas hidup dan menghambat pencapaian potensi mereka secara penuh, baik kini maupun mendatang. (Victoria Johnson & Edda Ivan Smith, 2002)

Catatan pengalaman di beberapa kawasan sejatinya mampu menohok pikiran kita bahwa partisipasi anak bukanlah tidak pernah terjadi, melainkan tidak pernah dikaji. Tak pantas mengharapkan anak-anak sebagai harapan bangsa sambil diam-diam atau terang-terangan kita mengabaikan peran-peran mereka untuk menjadi sosok harapan bangsa.

Air sangat tahu dimana tempat untuk pulang..

Hujan merintik bukanlah titik dari segalanya melainkan koma. Suatu jeda untuk menunda. Suatu jeda petanda untuk menghela. Rintikan hujan pun mengetuk-ngetuk hatiku agar mengabstrasikan dirimu, kemudian mengajaknya untuk bicara lewat hati. Memperkaya arti kehadiranmu yang tiba di hati walau enggan untuk mewujud dan bersua. Rintikan dan gemercik air hujan jatuh dari atap genting, bisikan ke telinga. Bersama namamu, mengalir pada aliran darah, menghembus lewat nafas mengalir pada dada. Sesak untuk kukeluarkan kembali namamu pada kenyataan, lantaran kenyataan enggan untuk menerima. Ingin kulepaskan dinginnya angin dari hujan agar hadir kehangatan dalam selimut kerinduan. Hanya gemercik air hujan merintik yang menyatukannya, bayangan dirimu pada diriku yang nyata.

Adalah akumulasi dari pembauran antara cinta, dan benci terselip di sana. Menghela atas kekesalan dan kelelahan hati tanpa penyesalan yang tak kunjung tiba dan reda yang sementara jiwamu letih melunglai tergopoh-gopoh. Kucoba mengadu pada seruling bambu cheris the ladies atau suzanne ciani yang menyuarakan kerinduan. Mengadu pada kemerduan sendu geseken biola adagio yang menguras air mata hati. Mengadu pada denting piano james galway yang menyayat-nyayat hati penuh dengan replika kelembutan. Mengadu pada petikan dawai gitar david arkenstone yang apik kaya akan perhatian. Membaurkannya, lalu menghelus telinga, wangi harum oriental. Meluluhkan sukma, melebur bagai lilin yang memancarkan pelita hati di kegelapan di saat malam tak bergugus bintang gemintang dan rembulan pucat pasi.

Semesta aku sempitkan dari semula yang kujulurkan ke tiap titik sudut, menjadi sebuah dunia kecil yang soliter. Lalu rindu pun menjadi buta sampai tak tahu beda antara berani, malu, dan tak tahu diri. Jiwa tanpa sehelai tirai yang membalut. Hatiku bersisik-berisik-berbisik, risih dan resah, kacau dan galau, kalut terbalut kemelut: siapa sih diriku ini? Aku pun terlampau menjadi tuli untuk mendengar dan buta untuk melihat pada kenyataan, terasing usang dalam kerinduan cinta. Kepercayaan diri pada gilirannya tertinggal tanpa kendali seakan-akan tak berkendala. Komitmen selanjutnya terlampau menjauh, menepuk-nepuk separuh dada.

Rintikan hujan hari seolah membuat segalanya terlambat. Lalu kita mengatainya si penghambat di saat kita sibuk mencari jati diri sesejati mungkin lewat aktualisasi dan eksistensi. Kemudian kita alfa, bahwasanya rintikan hujan telah menjatuhkan dan menyampaikan tentang apa yang menjadi harapan. Ada jeda untuk menghela di sana. Ada koma agar mengingatkan untuk dan atas nama apa hidup ini.

Berat bagiku untuk mencintaimu. Sebaliknya, -bahkan-mungkin-, lebih berat bagimu untuk menerima diriku. Banyak hal sepertinya-sepatutnya mesti kamu hitung tentang diriku. Menghitung mulai dari apa yang nyata sampai pada apa yang tak nampak dalam diriku: miliku, rautku, pesonaku, dari mana asalku, siapa dan dari mana keturunanku, bagaimana perangaiku, sampai pada tingkat komitmenku -yang tengah diupayakan namun bukan hal yang remeh-temeh-, apakah menjanjikan atau tidak? Kemudian itu menjadikannya sebagai tolak ukur untuk kemudian membandingkannya dengan orang lain, dengan tetangga sebelah, dengan rekanan sekerja, dengan yang dikenalkan (untuk kemudian dipasangkan) oleh saudaramu, oleh ibumu, oleh pamanmu, oleh bibimu, dan oleh sederetan lainnya, sampai pada titik menukik: dengan bayangan yang datang menghampirimu lalu menjadikannya sebagai harapan. Kemudian hasrat untuk melompat-melampaui tepi dan batas menjadi tak terkendali seolah tanpa kendala. Pertimbangan demi pertimbangan diperoleh-diperolah dari berbagai macam hasil hitungan, taksiran ke depan, pada gilirannya membuahkan keputusan berupa kesimpulan. Kamu berkata, mungkin-seolah, sepadankah diriku dengan dirimu, atau barangkali adakah yang lebih?

Berat bagimu untuk menerimaku, berangkat dari apa yang ada kemudian menjadikannya bukan suatu yang taken for granted atau sesuatu yang given, sudah tergaris-luruskan dari sananya, sekan-akan. Terkadang tak mudah membedakan dan memisahkan mana takdir dan bukan. Apa yang semula dianggap berat dan menjadi takdir atau nasib terkadang bisa juga diubah, dinyatakan sekalipun lewat jalan terjal dan berikil tajam. Cinta, kasih, perhatian seakan jauh nun di surga seakan menjadi penantian final, pada gilirannya itu hanya milik mereka yang senantiasa manggut-manggut berdo’a, sembahyang, puasa, dan berkata amin (sola fide et sola gratia). Hanya untuk mereka yang tunduk dalam kepasrahan menerima apa adanya dengan daya tanpa upaya sekecil apapun. Enggan untuk berusaha meraihnya lewat ketulusan dan kecintaan yang diperjuangkan lewat kerelaan. Adalah harapan, suatu upaya yang rela untuk tidak memalingkan mata hati ke atas namun menundukkannya ke bawah. Kerelaan demi memperoleh genetika kata dari cinta: Pengertian.

Jangkauanmu dalam kurun berapa tahun silam hingga kini belum terjangkau. Aku tak berani menyampaikan janji pada komitmen diri yang berlipat-lipat, karena kutakut melompatinya. Kemudian hatiku berbisik, apakah aku ini hanya seorang pemimpi dan pembual belaka karena hanya memendam harapan tanpa pijakan pada kenyataan yang sementara. Aku khawatir jika bersikap apa adanya akan hampa nilai dan membuat hidup ini tanpa martabat. Hidup yang bergantung pada kecenderungan musim tergerus oleh kenyataan. Yang sepenuhnya dahaga aktualisasi dan haus eksistensi diri dengan mencerminkannya pada orang lain secara lebih, lalu tak tahu apa dan dimana sebuah identitas dan jati diri. Kubuka jendela kamar untuk menyatakan suara hati pada dunia, dunia kenyataan. Dan kenyataan pun terkadang muncul atas kehendak hati dan harapan pikiran.

Kenyataan bukan semata rasa pada raga
Apakah halus-lembutnya permukaan diterima sebagai kenyataan mana kala kulit dan pori-proinya terbakar? Apakah merdunya petikan gitar, sendunya denting piano, dan gesekan biola diterima sebagai kenyataan dikala telinga tuli? Adakah indahnya lansdcape panorama pantai dan nyiur melambai-lambai diterima sebagai kenyataan ketika mata buta? Apakah semerbak harum parfum de la Joei de Paris atau meledaknya bau kentut ubi dan telor dapat diterima sebagai kenyataan manakala hidung tersumbat flu dan pilek berat oleh derasnya hujan? Apakah manisnya gula asinnya garam dapat diterima sebagai kenyataan manakala lidah tertimpa air panas? Lantas, apakah cinta, kasih-sayang, dan perhatian diterima sebagai kenyataan manakala hati buta dan pikiran mengeras di kepala?

Jarak tinggalmu tak seberapa dari tempat diamku. Namun jangkauan jiwamu tak terjangkau jauh di sana, di Meulaboh, Cot Pidie, Aceh ujung Utara pulau Andalas. Sukmamu sulit kurengkuh jauh di sana, di Timika tetangga Wamena pulau Papua ujung Timur Nusantara. Kapankah tiba hatiku tambatkan agar biduk yang kuayuh berlabuh dalam sukmamu. Lebih kecil samudera Pasifik jika di banding dengan luas samudera Hindia. Berapa banyak kayuhku yang kubutuhkan untuk melabuhkan biduk kecilku agar hati tertambat pada hatimu?

Kepada Sang Pencipta hatiku, serukanlah isi hatiku lewat cinta dan kasih sayang kepada kenyataan! Pekikanlah isi sukmaku sekumandang lafadzmu seperti kumandang adzan! Tembuskanlah pancaranku dengan keagungan dan kekuatan-Mu kepada setiap tirai yang menghalau! Lumatkanlah nafsuku, ubahlah agar menjadi ketulusan!

Kepada Sang Pencipta hatiku: Jika ada wanita yang tersentuh olehku kemudian ia sakit, singkapkanlah tirai maaf untukku. Jika ada utang budi yang mesti kulunasi pada wanita, kepada Sang Pencipta hatiku agar ia diingatkan untuk tak enggan dan tak segan mengingat piutangnya. Jika hatiku yang melulu mengeras dan membatu, kepada sang Pencipta hatiku: Luluhkanlah!

Lalu aku menatap ke luar jendela, apakah angin yang menggerakan bendera di atas tiang atau bendera yang meggerakaan angin di atas tiang? Ternyata pikiranku dan hatiku yang bergerak.

Lalu air hujan turun dari langit mengalir ke tempat yang lebih rendah. Sang penggembala basah kuyup lekas berteduh di bawah pohon beringin, lalu gembala mengikutinya. Aku baru saja tahu bahwa air sangat tahu dimana tempat untuk pulang.

Bandung, 23 Oktober 2006

Hari yang tertunda...

Entah…….
Mungkinkah waktu datang lagi meniti
Meruntuhkan kepalsuan
Yang kerap membangun suasana
Yang kini hadir dalam kebisuan

Tulisan malam pun semakin menutupi
Benih-benih keyakinan diri
Menghempaskan nafas-nafas pilu
Semenjak aku mengerti segalanya

Kini semua waktuku
Tak sanggup lagi membuat damai
Ketika engkau berdiri di hadapanku
Pada saat engkau tuturkan
Kengerian yang sama

Ingin aku sampaikan
Bahwa dirimu begitu berarti bagiku
Namun ingin aku akui
Engkaupun tak sanggup lagi
Mengartikan hari-hari yang kita jalani

Lihatlah di alam di sana
Nampak kita tersenyum berdua
Menghabiskan waktu merengkuh suasana
Untuk bisa saling melepas rindu

Namun pada saat yang sama
Kita pun menangis
Menyaksikan ketidakutuhannya
Karena kita tidak untuk dipertemukan

Sampai kapan kita berdiri
Berharap datangnya kebahagiaan utuh
Ketulusan dan keabadian
Yang takkan pernah termiliki
Di hari ini….

Di saat kehangatan dan nuansamu hadir
Terpancar ketulusan dari hatimu
Dan kita menikmati ketentramannya
Namun semua hanya datang sesaat
Di kala kita tersenyum damai
Di kala kita menangis terluka
Di kala kita hadir pada hari ini
Hari yang tertunda

Ingin rasanya aku berdiri kokoh
Pada saat hatimu milikku
Pada semuanya tersandarkan
Dalam ketulusan cinta

Kasih……
Tak usahlah engkau menggapai aku
Sebab hari yang ada padaku
Hanyalah hari yang tertunda

Tentang PRTA

Menjadi pembantu rumah tangga, kita tidak punya kekuasaan terhadap hidup kita sendiri. Tidak ada yang menghargai kita. Kita tidak punya hak. Ini pekerjaan yang paling hina.

Dikutip dari Human Rights Watch (2006)

Anak-anak bekerja sebagai pekerja rumah tangga, di Indonesia bukanlah hal yang aneh. Dalam catatan panjang sejarahnya, Fenomena ini tumbuh seturut dengan tradisi yang digunakan untuk melakukan mobilitas vertikal atau sebagai bentuk pengabdian seorang kawula terhadap seorang gusti. Seiring dengan perkembangan dan masuknya kolonialisme, hubungannya berubah menjadi hubungan yang dihargai secara material dengan diberi upah.

Singkat madah, dengan segala variasinya, fenomena ini terus tumbuh dan masih eksis sampai sekarang. Tapi meskipun demikian, perubahan pola hubungan ini tidak serta merta mendorong ke arah perubahan perlakuan dan penempatan pekerja rumah tangga sebagai bagian dari bentuk profesi. Padahal, profesi ini bisa dikatakan profesi yang banyak dimasuki oleh anak-anak, dan tentunya orang dewasa, sebagai alat untuk mobilitas vertikal.

Sejauh ini, pekerja rumah tangga anak (PRTA) memang belum menjadi perhatian banyak pihak. Lokasi-lokasi yang tersebar dan tersembunyi di wilayah domestik membuat persoalan PRTA menjadi tidak diketahui besaran masalahnya. Keadaan ini membuat situasi dan kondisi yang dihadapi PRTA menjadi tidak tergali.

Kendati besaran angka PRTA belum diketahui secara persis dan diterima oleh banyak pihak, namun situasi dan besaran masalah yang dihadapi PRTA relatif memiliki kesamaan. Pertama, dilihat dari segi lokasi, keberadaan PRTA berada di wilayah yang dianggap privat. Dengan lokasi yang demikian, keberadaan PRTA menjadi tersebar, tertutup dan tersembunyi. Sehingga tak aneh kalau kasus-kasus kekerasan fisik, psikis maupun seksual yang menimpa PRTA menjadi sulit terungkap.

Kedua, dilihat dari segi status, pekerja rumah tangga belum dianggap sebagai pekerja dan tidak termasuk dalam peraturan ketenagakerjaan nasional yang menjamin hak-hak dasar di bidang ketenagakerjaan. Jasa rumah tangga tidaklah dianggap sebagai pekerjaan formal melainkan sebagai sebuah hubungan informal antara pekerja dan majikannya. Sehingga tidak salah kalau kemudian serikat PRT yang mampu menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan PRT sangatlah langka.

Ketiga, tidak ada kerangka perlindungan hukum yang jelas atas posisi PRT atau PRTA. Hal ini terlihat dari tidak adanya departemen yang bertanggung jawab dan memiliki wewenang untuk mengatur dan mengontrol situasi kerja PRT atau PRTA.

Akibat dari tidak adanya kerangka perlindungan hukum ini, standardisasi upah minimum, beban kerja serta jam kerja pun tidak didapatkan oleh PRT atau PRTA. Dampak dari tidak adanya standar ini, maka persoalan kesehatan, waktu luang serta akses terhadap informasi dan pendidikan tergantung pada kebaikan majikan.

Situasi-situasi seperti itulah yang sebenarnya memperlihatkan bahwa fenomena PRTA adalah fenomena pelanggaran yang berkelanjutan dan meluas atas hak-hak PRTA sebagai anak, perempuan, pekerja, warga negara dan manusia. Sementara, dengan tarikan nafas yang sama, fenomena PRTA sebenarnya memperlihatkan bagaimana proses transformasi dari miskin secara ekonomi à miskin pendidikan à miskin informasi à miskin sosial dan berujung di miskin terhadap akses. Inilah substansi bahwa dengan bekerja anak sebenarnya sedang memperpanjang kemiskinan.

Godaan untuk langsung menuduh kemiskinan sebagai faktor, tentu tidak menjelaskan apapun. Pun menempatkan budaya pada kursi terdakwa, tentu tidak memberikan semangat apapun.

10 Oktober 2006

Selamat pagi, untukmu yang senantiasa tersenyum pada saat luka-luka di hatimu sudah terhapus rapih. Pada saat cerita akan dilanjutkan. Tak gontai kakimu berjalan, menelusuri lorong yang sudah engkau impikan.

Selamat siang, untukmu yang kini hinggap dalam irama hidup yang sudah tak ramah lagi. Pada saat sengatan mentari menguji ketegaran sang hati. Hingga dirimu tahu bahwa angin yang senantiasa hadir di siang ini sengaja datang tuk melipur lara.

Selamat malam, untukmu yang sudah berbagi suka dan duka dengan heningnya suasana. Tatapan tajam matamu ke ujung sana yangkerap kali membuatmu merasa ingin hidup seribu tahun lagi. Atau lusuhnya hatimu yang menghanyutkanmu ke lembah kematian yang memilukan.

Di manakah kita temukan lagi energi dari episode yang telah dipentaskan? Akankah kehalusan budinya menghangati rongga-rongga tubuh kita sehingga kehadirannya tidak pula kita sangsikan? Akankah semuanya mengambil alih perhatian putaran episode hari ini? Ataukah kehadirannya tak sedikitpun menyentuh alam imajinasi yang sebentar lagi akan menguak membisukan suasana saat ini?

Bukalah alunan lagu kehidupan dalam setiap lembaran album kenangan di kamarmu itu. Engkau akan dapati suasana dan dirimu pun terhanyut dalam nada-nadanya. Berdendanglah dan nyanyikan kembali, jika kegundahan dan kegaduhan hatimu tak sempat melupakan lirik-lirik lagunya. Rasakan getar energi yang datang menghampiri dengan perlahan….. di sanalah engkau akan temukan jati dirimu. Sebab nampaknya bunga-bunga mekar sudah melalui fase-fase perjalanannya.

Lihatlah dirimu di pagi hari. Kecil mungil dicumbui udara segar yang tak henti-hentinya membuatmu gembira dan tertawa. Tak satupun beban yang mesti engkau pikul….sebab cerita baru saja dimulai. Hingga dirimu mengenal bahasa-bahasa, warna-warni dari alammu, gunungmu, anginmu, rindangnya pepohonan, rumahmu, ibu-bapakmu, bangunan sekolahmu dan juga hiruk pikuknya putaran bumi. Sang waktupun mengabarimu bahwa janganlah terhenti meniti cerita demi cerita. Tengoklah, lalu dengarkan, hingga engkau paham dan dendangkan lagu-lagu kebangkitanmu, sebab dirimu masih terpaut dalam dimensi waktu pagi itu. Nyanyian riang gembiramu, suara lantangmu memekik nadi untuk terus mengukir prestasi. Dirimu berlari…………dan terus berlari, begitu angkuhnya mengejar segala mimpi-mimpimu.

Paras elok hingga kecantikanmu semakin tampak, berseri dan ceria sepanjang waktu, lincah dan mempesona memberikan kesegaran pada bunga-bunga alam raya ini. Hatimu tegar bak batu karang di lautan sana, tak pernah surut dari kejaran segala obsesimu. Dan engkaupun terus berlari…….. dan terus berlari ….. di pagi itu.

Hingga siangpun menjemput………
Tengoklah dirimu di siang itu.
Ada Belasan ruang yang mesti engkau lalui. Engkau pun terhenti sejenak dan memandang tajam ke depan sesekali menengok ke belakang hingga membuatmu semakin sadar bahwa pagi telah jauh beranjak.

Selamat datang di suasana siang, Nak! Demikian ungkapan sang mentari, seakan suaranya memekik telinga hingga engkaupun bergetar. Langkah demi langkah mulai engkau lambatkan dan terkadang terhenti. Semakin lama semakin berat beban yang engkau pikul. Lihatlah dirimu di lembaran kenangan itu. Tubuh lusuh, gontai tak bersepatu mengayuh impian yang tak kunjung bertepi. Wajahmu pucat penuh cemas dan marah.

Lagu yang engkau nyanyikan sudah tak berirama lagi, tersilap jeritan udara yang semakin memanas dan menggerogoti kesabaran hati nurani.

Engkau saksikan di hamparan padang kehidupan itu Pohon-pohon kebajikan telah tercerabut dari akar ketundukan kepadaNya, kebodohan di mana-mana, kemiskinan begitu merajalela, kekerasan dan pengasingan begitu membelenggu kebebasan dan harkat martabat kemanusiaan. Rasa cintamu telah dicuri, dirampas orang-orang yang hanya mengumbar egonya. Seluruh tubuhmu merasakan kepahitan dan kesakitan, menjerit menyuarakan tangis yang mendalam.

Sesekali kebahagian itu datang menghampiri hingga sedikit saja engkau rasakan, akhirnya diapun pergi………….air matamu melepas kepergiannya.

Hingga akhirnya engkaupun menemukan sandaran, untuk sedikit memberikan ruang bagi nurani, untuk melihat segalanya lebih jelas lagi, lebih paham lagi dan lebih baik lagi.

Engkaupun tertunduk, tak kuasa menahan gejolak yang enggan pergi dari sisi batin yang menjerit-jerit. Cintapun kembali tumbuh, namun bersemi dalam kebekuan suasana, yang hanya menampilkan pengingkaran-pengingkaran dan kebohongan-kebohongan, kepalsuan yang dibungkus oleh benih-benih kepasrahan perjalanan hidupmu..

Engkaupun tertegun dan hendak memilih untuk diam atau beranjak diri menuju keheningan malam
Engkaupun hapus panasnya siang itu dengan dinginnya malam,
Engkau bisukan kebisingan siang itu dengan keheningan malam,
Engkau lari dan bersembunyi di balik kegelapan malam,
Engkau gantikan mentari dengan bintang dan rembulan malam,

Teruskan…….teruskanlah….., bukalah terus album kenangan itu, nampaknya masih ada sepenggal cerita yang hendak kita renungi di kamar ini.

Namun malam begitu sunyinya, hingga engkaupun masih tertegun dan membisu. Dan memang seperti itulah malam, sunyi senyap mengajak kita untuk mengarungi semua hal dari diri kita. Membawa kita untuk melihat sisi-sisi keputusan langkah kita secara lebih jernih lagi, hingga semuanya kelihatan lebih jelas.

Engkaupun telah titipkan rasa cintamu pada bingkai kesucian malam itu. Memapah kembali perjalanan yang belum usai, meniti kedamaian hati yang dulu terkoyak dan rapuh tatkala engkau kan tertidur

Dengarkanlah bunyi seruling malam yang aku nyanyikan. Mudah-mudahan takkan membuatmu lupa, penghayatan mengajakmu kepada saat-saat kehadiranku dihatimu.

Berhentilah sejenak pada lembaran kenangan ini…….
Sebab di sana tersembunyi keangkuhan hatiku yang tak bisa melupakanmu
Keengganan berpaling, mesti semuanya telah menjadi jelas

Dengarkanlah….dan janganlah engkau tutupi telingamu, sebab nyanyianku adalah nyanyian kerinduan akan kebahagiaan dirimu
Resapi suara serulingku pada setiap kali datangnya
Kenanglah diriku sepanjang hayatmu
Tercatat dalam luapan emosi di malam ini……..
Terdiam dan terbisu
Tatkala tangan-tangan ini menghelus debu-debu
Tersingkap untaian perjalanan indah
Tertulis rapih dalam kenangan
Yang tersimpan membeku dalam benak angkuh ini
Tak kuasa merengkuh cerita baru

10 Oktober 2006
Kan
kuobati segala pilu
Kan kuusap segala derau tangis
Kuhadapkan keyakinanku
Kugiring kesediaanku tuk membahagiakanmu
Meskipun hanya sebuah harapan yang menggebu……namun aku sangat yakin

Marilah kita bercerita
Tentang perjalanan esok hari
Saling berbagi dan saling menyokong
Sejuta mimpi yang hendak aku bawakan untukmu
Sepercik cahaya cinta aku dambakan darimu
Hingga kita bisa menancapkan obor kehidupan di hati kita

10 Oktober 2006
Ku kan datang menjemputmu
Di taman bunga yang indah
Aku bawakan seutas tekad yang membaja
Bahwa aku menjagamu dari segala gundah dan duka
Kita saling memberi arah perjalanan
Hingga hati kita senantiasa bersatu dalam naungan kasih dan sayang

10 Oktober 2006
Mari kita bersama mengurai segala persoalan
Yang sering mengisi kepenatan kita


Hati Terlalu Diam

Telah tiba waktu
Menapaki jalan
Menghadirkan jumpa
Saat kita telah berubah

Namun satu sisi telah hilang
Menyelinap dalam lepas
Tak tahu kemana bertepi
Suaramu tak lagi menari

Kini hatipun berulah
Dalam lembar rindu yang rapuh
Menggigil enggan beranjak
Membungkam mimpi-mimpi
Sulitnya meramu percik cahaya
Dari pijar pertautan kedua tangan kita
Buah kalut dari pengakhiran masa lalu
Yang ada hanya termangu

Hari-hari terlalu membeku
Tak mampu menyuguhkan makna
Pencarian yang terhenti
Diamkan yang belum usai

Hati ini masih tertambat
Diam tidak merangkul
Jangan tanyakan apapun
Sebab tak ada bekal untuk menjawab

Penjara dan Anak Jalanan

Anak yang berkonflik dengan hukum (chidren in conflict with the law) menjadi penting untuk diperhatikan tidak saja dilihat dari penyebab seorang anak berkonflik dengan hukum. Lebih dari itu persoalan ini menjadi begitu penting bila dikaitkan dengan situasi yang dihadapi anak yang berkonflik hukum.

Yang sering terjadi ketika seorang anak berkonflik dengan hukum adalah tertutupnya akses ke sekolah (pendidikan). Jika anak tidak menyatakan keluar dari sekolah, maka yang terjadi adalah sekolah mengeluarkan anak tersebut. Bagi sekolah, menerima kembali anak yang pernah berkonflik dengan hukum tentu bertolak belakang dengan upaya mejaga citra sekolah.

Dalam satu kasus yang melibatkan seorang anak perempuan yang berkonflik dengan hukum, langkah minimal yang sebenarnya bisa dilakukan oleh sekolah untuk memberikan keterangan meringankan kepada anak perempuan tersebut tidak juga dilakukan oleh sekolah di mana anak perempuan tersebut belajar.

Sekolah, sebagai lingkungan kedua setelah keluarga, tempat anak-anak belajar dan menghayati nilai-nilai, dalam banyak kasus sulit diharapkan untuk memberikan dukungan kepada anak didiknya yang sedang berkonflik dengan hukum. Sementara pada sisi yang sama, dukungan merupakan kebutuhan elemen bagi anak yang berada dalam situasi dan posisi sedang berkonflik dengan hukum.

Dengan tarikan nafas yang sama, perlindungan untuk anak yang berkonflik dengan hukum menjadi patut juga untuk diperhatikan. Pelanggaran dan kekerasan yang sering terjadi dilakukan oleh aparat penegak hukum menjadi legitimasi dibutuhkannya perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum.

Aparat penegak hukum, sesuai dengan fungsinya, dalam menjalankan fungsi tersebut berada dalam batas-batas antara apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Batas-batas tersebut mewujud dalam bentuk aturan perundang-undangan, mekanisme penanganan dan aturan teknis lainnya menjadi pegangan bagi aparat penegak hukum dalam memperlakukan anak atau sesorang yang melanggar pidana. Pegangan tersebut dimaksudkan selain bagaimana menangani, juga dimaksudkan untuk melindungi pelanggar pidana, khususnya anak.

Di titik ini, ketika aparat penegak hukum melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang ada, maka yang sebenarnya terjadi adalah bukan saja aparat penegak hukum melanggar peraturan tersebut. Lebih dari itu, persoalan yang serius adalah telah terjadinya pelanggaran HAM.[1]

Dalam praktek, kekerasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum tidak saja datang dari aparat penegak hukum, melainkan juga dari sesama tahanan. Hal semacam ini menjadi mudah dipahami karena pada kenyataannya, tahanan anak sering disatukan dengan tahanan dewasa. Dalam situasi semacam itu, kekerasan atau perlakuan salah lainnya dari sesama tahanan yang lebih dewasa menjadi mudah terjadi.

Persepsi yang berkembang di masyarakat pun cenderung tidak berpihak kepada upaya pemulihan dan reintegrasi anak ke dalam masyarakat. Stigma yang telah melekat sebagai kriminal menjadi batas yang tegas antara anak dan masyarakat. Dalam batas yang tegas itu, anak berperilaku di atas batas tersebut dan menghayati batas itu sebagai perilaku yang permanen.

Demikian rentan posisi dan situasi anak yang berkonflik dengan hukum ini, mempunyai implikasi kepada dibutuhkannya penanganan dan perlindungan yang berbasis pada hak-hak anak. Mencari basis bagi pemerintah Indonesia tidaklah asing dan sulit. Konvensi Hak Anak sebagai basis universal bagi penghormatan dan perlindungan hak anak telah lama diratifikasi oleh pemerintah Indonesia

Dalam konvensi tersebut dicantumkan empat hak dasar anak yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara peratifikasi. Keempat hak dasar itu adalah hak bertahan hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan hak partisipasi.

Selain menyebut empat hak dasar, Konvensi Hak Anak juga mengandung empat prinsip untuk terselenggaranya pemenuhan atas empat hak dasar tersebut. Keempat prinsip itu adalah non diskriminasi, yang terbaik bagi anak (best interest of the child), kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development) dan penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child).

Meski secara konsepsi konvensi tersebut telah diadopsi menjadi hukum positif di negara Indonesia, namun pada wilayah praksis, pola yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menangani persoalan dan penanganan anak yang berkonflik dengan hukum sering memperlihatkan praktek-praktek yang bertentangan dengan empat hak dasar anak serta empat prinsip yang tertuang dalam Konvensi Hak Anak tersebut.

Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia dimasukkan ke dalam sistem peradilan pidana. Secara umum peradilan pidana dibangun sebagai suatu mekanisme administrasi peradilan pidana dengan pendekatan sistem yang terdiri dari komponen-komponen kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam konsep dan praktiknya kemudian penjatuhan pidana dalam peradilan pidana lebih banyak ditujukan untuk memberikan pembalasan kepada pelaku tindak pidana. Tidak heran kalau kemudian sistem peradilan pidana yang ada memproduksi segala sesuatu yang sifatnya unwelfare --baik berupa perampasan kemerdekaan, stigmatisasi atau bahkan dera fisik bagi orang yang dinyatakan sebagai pelaku kejahatan, guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare. Ini tertuang dalam praktik sistem peradilan pidana sejak tahap penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, persidangan oleh pengadilan hingga puncaknya pemidanaan yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan.

Penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam spirit Konvensi Hak Anak, yang dioperasionalkan dalam Beijing Rules, Riyadh Guidelines dan The United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty, justru mengedepankan upaya-upaya untuk meminimalisir intervensi sistem peradilan pidana bagi anak guna mengurangi atau mencegah kerugian-kerugian pada diri anak yang diakibatkan oleh intervensi tersebut.

Dalam konteks ini, peradilan pidana ditujukan untuk memajukan sepenuhnya kesejahteraan anak berikut pemenuhan hak-hak dasar yang melekat atasnya (kendati diduga, bahkan telah terbukti melakukan kejahatan, hak-hak tersebut tetap melekat pada anak) serta memastikan bahwa reaksi apapun terhadap anak akan selalu sepadan, tidak hanya mempertimbangkan beratnya pelanggaran hukum namun juga mempertimbangkan keadaan-keadaan pribadi anak.

Dalam konteks ini, suatu kebijakan yang menyeluruh (tidak saja berkenaan peradilan pidana bagi anak, namun juga dengan upaya-upaya pencegahan seorang anak untuk berkonflik dengan hukum) dengan pendekatan yang mengedepankan pemajuan kesejahteraan anak pada gilirannya akan mengurangi intervensi sistem peradilan pidana bagi anak menjadi pentinguntuk diperhatikan.

Mengaitkan sistem peradilan pidana dengan anak jalanan merupakan sesuatu yang mudah dipahami. Kehidupan jalanan membuat anak jalanan mengembangkan pola hidup yang keras sebagai mekanisme untuk bertahan hidup. Tantangan kehidupan yang mereka hadapi pada umumnya berbeda dengan kehidupan normatif yang ada di masyarakat. Tantangan ini mempunyai implikasi yang berbeda dan bertolak belakang dengan pemahaman masyarakat umum dan juga peraturan perundangan-undangan. Dalam banyak kasus, kehidupan anak jalanan berkembang di bawah tekanan dan stigma sebagai penyakit masyarakat.

Dari segi kuantitas, peningkatan jumlah anak yang turun ke jalan pantas untuk diprihatinkan dan diperhatikan. Persoalannya tidak saja berdasarkan urusan normatif seperti tempat yang ideal bagi anak adalah sekolah, bukan jalanan. Lebih dari itu, jalanan merupakan ruang publik yang mempunyai logika dan mekanisme perkembangan yang khas. Karena sifatnya yang publik inilah maka segala macam persaingan dan norma yang berbeda dengan ruang privat terjadi.

Anak jalanan ketika berada dalam ruang publik semacam itu tentunya mengembangkan juga suatu mekanisme pengimbang sebagai sarana bertahan hidup. Mekanisme ini bisa berbentuk psikologis dalam arti cara menghayati peristiwa, sosiologis dalam arti mengembangkan relasi dan budaya dalam arti mencipta simbol-simbol.

Ketiga bentuk mekanisme ini relevan dengan problem yang membuat mereka turun ke jalan. Banyak yang menjadi alasan anak turun ke jalan disebabkan faktor ekonomi. Tetapi tidak sedikit pula yang mendorong anak turun ke jalan disebabkan oleh situasi di rumah atau perlakuan salah dari orang tua. Dengan demikian ada afinitas antara penyebab dan akibat sehingga mekanisme yang dikembangkan menjadi mudah dipahami.

Negara dan masyarakat memandang mekanisme yang dikembangkan oleh anak jalanan sebagai suatu bentuk anomali. Ini sangat beralasan bila dilihat dari cara memandang antara anak jalanan dengan negara dan masyarakat. Negara dan masyarakat memandang bersih sebagai sesuatu beradab. Sementara anak jalanan memandang kotor sebagai strategi bertahan hidup. Hal yang sama, negara dan masyarakat memandang mencuri sebagai suatu tindak kriminal. Hal yang sama pula dipandang oleh anak jalanan sebagai strategi mencari penghasilan. Bahkan negara dan masyarakat memandang anak jalanan sebagai suatu kelompok yang secara sosial tidak boleh tampil ke permukaan dengan menyebut mereka sebagai penyakit masyarakat.

Pada titik ini, anak jalanan dan hukum ibarat dua sisi yang saling mengawasi dan mensiasati. Hukum sebagai representasi dari keinginan masyarakat untuk menjaga dan mengatur kualitas hidupnya tidak mampu diikuti oleh anak jalanan karena status dan posisinya yang tidak memungkinkan. Maka tak aneh kalau anak jalanan mempunyai cap yang kurang positif dalam pandangan masyarakat.

Bagi anak jalanan, cap yang berikan oleh masyarakat mengalami penghayatan sehingga menjadi perilaku yang permanen. Perilaku inilah yang sering membuat anak jalanan berpeluang menjadi anak yang berkonflik dengan hukum.


[1] Istilah pelanggaran HAM mengasumsikan pelanggaran oleh negara terhadap manusia yang berada di dalam wilayah hukum negara bersangkutan. Pelanggaran HAM dalam konteks KHA bisa berarti dua macam. Pertama, jika negara melakukan tindakan, baik tindakan legislatif, administratif atau tindakan lainnya yang seharusnya tidak dilakukan. Melakukan penyiksaan, misalnya. Kedua, non-compliance, yaitu jika negara tidak melakukan tindakan, baik tindakan legislatif, administratif atau tindakan lainnya yang disyaratkan oleh KHA bagi pemenuhan hak anak. Lebih lengkap lihat, Ima Susilowati dkk, Konvensi Hak Anak, Sahabat Remaja PKBI DIY – Unicef. hal. 31-32.

Musim Senantiasa Berubah Silih Berganti

Tahukah rumput-rumput ketika seekor burung sembunyi
Menakar segala kekalutan hidup
Di balik kehangatan tubuh sang mentari pagi
Terhelus alunan gema alam raya

Tahukah seekor burung manakala batang rumput terjatuh
Mengikis kedengkian yang tak tertahankan
Dalam hiruk pikuknya pesta sang angin malam
Hingga sang rembulan tersenyum simpul manisnya

Sorot mata ini tak sempat lagi memandang jauh
Karena kehalusan nurani yang semakin membinar
Dalam luapan emosi malam ini
Tatkala hatiku dirundung rindu yang mendalam

Dalam mimpi itu aku bertanya
Siapakah yang hendak melihat semua yang terjadi
Manakala kehampaan selalu menjemput
Bahwa ternyata segalanya senantiasa berubah

Hilangkanlah segala perasaan bersalah
Karena semua telah berubah dan akan senantiasa berubah
Tak satu pun yang berontak akan suratan-Nya

Hari ini rasa sedihku hinggap ke pangkuanmu
Namun ketegaranmu yang akhirnya membuat aku bertahan
Tetapi jika di hari esok engkau pun merana
Ku kan datang menopangmu

Begitulah……….segalanya datang silih berganti
Saling menjemput dan saling berbagi
Mencari sesuatu dan menemukan berbagai hal
Hingga takkan satu pun ciptaan-Nya yang kekal abadi

Dalam sebuah puisi ini aku tuliskan
Bahwa segalanya akan bertahan
Keadilan dalam menebarkan cinta
Bahwa hidup ini hanyalah untuk berbagi

Dalam kesendirianku ini
Perjalanan memapah beribu musim
Hingga membuatku merasa sadar
Bahwa aku pun tak menyendiri lagi

Jangan takut berbeda

Aku lupa pada catatan harianku….! Mencatat harian bukanlah aktifitas layaknya aktifitas rutinitas sembahyang. Kucurahkan segala perasaan karena malam ini di tengah listrik padam yang cukup berkepanjangan, hujan mewarnai gemerlap malam. Baru tiga baris kucurahkan pikiran lampuku menyala, tak kemudian membuatku surut berhenti ungkapkan segala isi hati. Lilin senantiasa kunyalakan karena membuatku senantiasa nyaman. Hujan perlahan berjalan menuju reda. Kudengar obrolan, canda dan tawa kawan. Bahagianya aku di malam sebelum isya. Kehangatan ternyata tak mudah didapatkan. Kehangatan muncul di tengah rintikan hujan yang berkepanjangan, Ibu ? Aku belum setorkan ini muka hingga berminggu-minggu. Aku khawatir ini kan berlarut. Khawatir durhaka. Keinginan tuk tahu kan berita keluarga seolah tak peduli. Ampuni kesalahanku Robbi! Beberapa janji tak kutepati tentu saja menjadi catatan utang untuk para malaikat. Ku tak mau hal ini terbawa ke akhirat.

Perasaan….. di manakah? Kenapa kegundahan hati ini menjadi sesuatu yang bimbang. Satu sisi mesti konsisten terhadap diri. Belakangan hari kuberjanji untuk menunggu atas pengakuan seseorang. Pengakuan terhadap ketulusan bukanlah pengingkaran diri terhadap janji. Karena berkali-kali sudah kubilang bahwa realistis menjadi kemestian. Idealisme tak selamanya membuat diri menjadi nyaman akan perasaan. Dalam kondisi tertentulah idealisme akan menyakitkan.

Sudah kutegaskan bahwa manusia hanyalah sarana untuk menabur benih kejujuran, berpikir bersama, duduk bersama. Maka hakekat mencintai bukan pada persoalan siapa? Namun hakekat mencintai adalah apa yang akan dicintai?…?

Lagi-lagi materi….! Aku tak ingin materi menjadi jebakan yang akan meracuni sebuah hakekat…! Materi adalah manusia, maka materi itu fana karena bersifat fisik, apa lagi indera yang merasa. Namun yang menjadi pertimbangan adalah kepada siapakah benih cinta ini kan kutanam?…?…Siapapun kamu dari manapun, nggak ada permasalahan. Bagaimanapun tingkat kesolihatan menjadi tak peduli. Adanya kamu dan aku bukanlah untuk saling menggurui, namun kehadiran kita hanyalah tuk saling melengkapi. Mari kita duduk bersama. Mari kita melangkah bersama untuk mengisi catatan kehidupan untuk mewarnai pelangi kehidupan. Tak mesti kita selamanya bahagia karena di dalam penderitaan banyak sesuatu yang tersembunyi.

Keindahan tak melulu dalam suasana bahagia. Keindahan sekalipun akan muncul dalam derita dan kesunyian. Dalam detik ini pun kuberada dalam kesendirian dan kesunyian. Akan kuukir kesunyian dengan goresan-goresan perasaan. Tak mudah tuk menggores hingga goresan itu membekas di dalam dirimu. Bekas goresan yang terukir itu dengan sendirinya lahir dan hal itu bergantung pada bagaimana kita memandang terhadap cinta.

Realistis….realistis…..itu yang mesti kita pegang. Bukan maksud aku menggombal, sekedar mengutarakan isi hati pada dirimu, tak banyak dari diriku yang kutawarkan, hanya bekal dengan apa adanyalah kita mampu melangkah bersama. Apa yang mesti kita perkaya dalam diri hanyalah perasaan.

Kesyukuranku atas canda, tawa kawan menjadi kepatutan. Tak selamanya kita mesti bahagia. Suatu hari nanti kan kita temui pertengkaran. Ya…. Pertengkaran. Dan itu keniscayaan serta keharusan untuk meraih emosi kita. Bukan mesti kita bertengkar. Terkadang di balik kebahagiaan tersembunyi benih ketidakjujuran yang sulit untuk membuka diri..

Terhenti kutemukan sepi

Seiring mekarnya bunga di taman
Membuatku hinggap dalam damai
Namun setiap kali aku tertusuk durinya
Kupanggil damaimu

Berlaluku tanpa awal
Hampiriku tanpa akhir
Yang ada hanya goresan kecil
Dalam lembar hati yang paling dalam

Maafkan aku yang pergi jauh….
Sebab aku tak kuasa membangun mimpi
Sandaranku tak mampu lagi menopangnya
Dan aku pun terjatuh…

Sepenggal cerita aku lukiskan padanya
Di balik limpahan cerita indah denganmu
Pertentangan di antara intan dan permata
Hingga akhirnya aku terhenti
Dalam kisah luapan hatiku

Mungkin aku takkan lagi bersinar
Sebab cahaya itu adalah dirimu yang kian sembunyi
Kini aku hanya tiang-tiang
Tuk seseorang yang enggan bersinar

Akulah sang kisah yang tak bertepi
Pencarian jati diri
Hingga aku tak sanggup lagi bertutur
Sebab kisahnya hanya untuk seuntai janji
Yang terhenti dalam sepi

Cinta sejatiku takkan mungkin terkhianati
Dirinya luput dari kebohongan yang sungkan
Ada
setitik embun yang selalu membuatku percayakan
Tertanam kuat dalam lubuk hatiku
Suatu saat nanti
Kita kembali bersama…..

Terima kasih atas perjumpaan rasa di pagi ini

Pagi ini akan aku perlihatkan
Ketulusan tuk usapkan segala debu di hati
Yang selama ini membungkam kejujuran
Yang dahulu menghasut nurani

Sulitnya mengurai makna dalam rintihan langkah
Perjalanan yang menguras lelah
Hanya pilu yang membuatnya kosong
Terjalani dalam rindu yang kian menghilang

Namun di pagi ini telah aku saksikan
Sentuhan asa yang engkau pijarkan dihatiku
Membuatku mampu bertahan
Menjalani hari esok yang kian menunggu

Hee Ah Lee memang luar biasa...

Beruntung aku bisa menyaksikan Sharing in Strength of Love: The Four Fingered Pianist di Metro TV. Di tengah beragam acara TV yang kurang produktif, pementasan Hee Ah Lee memberiku semacam energi agar terus menerus untuk percaya pada kecenderungan. Kecenderungan menandakan adanya kehidupan. Adanya gerak. Semacam passion yang melahirkan kekaguman pada orang-orang yang bisa bergerak di tengah keterbatasasn, bahkan keterbelakangan.

Hee Ah Lee, seorang gadis berusia 21 tahun dengan 4 jari di tangan serta tinggi badan yang ‘hanya’ 103 cm, mengajakku untuk terus menjelajahi kebesaran dan keagungan melalui peristiwa kecil, peristiwa remeh temeh. Hmmmm...entah darimana datangnya watak manusia yang melulu percaya, bahkan hanya percaya, pada peristiwa-peristiwa besar seraya menafikan peristiwa kecil, remeh temeh dan sehari-hari.

Dengan melihat Hee Ah Lee, rasa salutku melayang pada sosok ibu Hee Ah Lee. Satu sosok yang kuat, sabar dan motivator kelas wahid yang sangat luar biasa. Berlebihankah? Aku rasa tidak. Dengan sosok semacam ibu Hee Lee, kita bisa belajar memupuk keyakinan bahwa kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan. Sejatinya, setiap kita percaya dan yakin pada potensi-potensi manusiawi kita, bagaimanapun keadaan kita.

Ah....sayang. Pendidikan yang kita terima dan kita jalankan nyatanya sangat jauh dari semangat semacam itu. Pendidikan kita cenderung memandulkan bahkan memberangus potensi-potensi manusiawi anugerah Tuhan. Yang terjadi dalam dunia pendidikan kita hanyalah teaching, bukan learning. Teaching lebih bermakna memasukkan dimana murid diibaratkan bejana kosong yang diisi air oleh guru yang tahu segalanya. Sementara learning lebih bermakna memanggil kembali (recalling) potensi-potensi manusiawi yang Tuhan berikan. Guru, dalam learning lebih berfungsi memfasilitasi daripada menggurui. Ah...jadi sinis juga tulisan ini. Maaf...maaf...maaf...

Dalam pementasan Hee Ah Lee, aku melihat tatapan penonton yang terkesima kagum, heran tak percaya seraya menitikkan air mata. Pikiran mereka disatukan oleh rasa takjub dan pesona luar biasa tentang kehebatan manusia yang terbatas dan terbelakang. Mulut mereka seolah keluar ucapan yang sama: “Subhanallah!”, “Puji Tuhan!”

Hee ah Lee, kau mengajari kami bahwa keterbatasan tidak berarti lemah. Kau menampar kami bahwa tubuh sempurna bukan berarti kuat dan digdaya. Kau mengajak kami untuk yakin dan percaya bahwa di dalam diri kita ada sisi-sisi manusiawi yang tidak menyerah kalah pada keadaan.

Terima kasih, Lee! Sampaikan rasa hormat dan kagumku pada ibumu..

Pamoyanan, 6 April 2007

21.10 WIB

Lokalisasi itu kini ditutup...

Sebanyak 1.200 orang petugas, termasuk ormas Islam, mengepung Saritem. Warga Saritem serasa diperlakukan sebagai teroris. Saritem sebagai sebuah lokalisasi memang telah berumur tua, bahkan sangat tua. Di kawasan itu ada sebanyak 428 orang calo, pengangguran 788 orang, pedagang 96 orang, mucikari 205 orang serta (kurang lebih) 500 orang PSK.

Bagi pemerintah, dengan penutupan itu, tertunaikanlah tugasnya untuk menjaga Kebersihan, Ketertiban dan Keindahan (K3) Kota. Semnetara, bagi kaum agamawan, tertunaikanlah kewajibannya untuk memerangi segala kemaksiatan dan penghancur moral bangsa. Yang satu amanat rakyat. Sementara yang satunya lagi perintah suci dari Tuhan

Ah…sungguh mulia ke 1.200 orang itu. Tak aneh, memang. Di kebanyakan kita moralitas suatu bangsa diletakkan di tubuh perempuan, wa bil khusus, di vaginanya. Oleh karena itu, kalau saya dilahirkan kembali, maka saya akan meminta kepada Tuhan untuk dilahirkan sebagai laki-laki saja. Menjadi perempuan itu sangat menderita dan penuh dengan beban.

Lihatlah RUU APP yang lebih menyerupai RUU alat kelamin. Dan alat kelamin yang dimaksud adalah alat kelamin perempuan. Lihatlah juga perda-perda anti kemaksiatan yang lebih banyak mengorbankan perempuan. Di beberapa daerah bahkan ada perda-perda yang melarang perempuan keluar malam. Kenapa perempuan dilarang keluar malam? Apa takut ada yang nyolek, ganggu dsb? Kalau itu persoalannya, kenapa tidak lantas membuat perda dilarang nyolek atau ganggu? Sehingga setiap kita (laki-laki dan perempuan) bisa menikmati kehidupan dengan lebih leluasa dan lega tanpa ada perasaan takut dicolek atau diganggu di malam hari sekalipun. Ah…sepertinya tubuh perempuan itu penuh atau pengundang dosa sehingga perlu diatur, dikontrol, ditaklukkan.

Bagi saya, mengaitkan moralitas dengan prostitusi sungguh naif dan hanya enak untuk mendapatkan jatah di surga. Bagi saya, prostitusi lebih berdimensi sosial-politis-ekonomis daripada moral. Dengan tarikan nafas yang sama, saya ingin bilang bahwa suprastruktur (moral, kesadaran) ditentukan oleh infrastruktur (kondisi sosial, ekonomi dan politik). Mengaitkan prostitusi dengan moral membuat kita tidak kategoris dalam melihat dan menyelesaikan persoalan. Sehingga yang terjadi adalah moralisasi persoalan sosial, ekonomi dan politik. Artinya menggunakan moral untuk mengukur persoalan sosial-politik-ekonomi. Itu ibarat beli beras satu meter. Ukurannya tidak pas. Seharusnya beli beras itu satu liter.

Dimensi ekonomi prostitusi
Berdasarkan tinjauan umum terhadap industri seks, Hull et al. memperhitungkan bahwa setiap tahun sektor seks menikmati penghasilan antara US$1,18-3,3 miliar (Rp. 10,62-29,7 triliun, dengan kurs US$1=Rp. 9.000,-).* Jumlah ini belum termasuk industri-industri terkait seperti penerimaan yang dinikmati hotel, rumah makan dan bar, penjualan bir dan alkohol, rokok dan parkir. Sebagai dasar perbandingan, pada tahun 2001 industri hotel menghasilkan Rp. 7,7 triliun. Demikian pula dengan industri kehutanan yang menghasilkan US$1,7 miliar (Rp. 15,40 triliun) dan jasa perusahaan menghasilkan US$2,2 miliar (Rp. 19,7 triliun) (BI, 2001). **

Kombes Anton Charlian, Kepala Unit III Trafficking in Person, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI, memperkirakan peredaran uang dari kegiatan perdagangan manusia tahun 2005 mencapai Rp 23,7 triliun. Ini berarti sedikit di bawah kegiatan pekerja seks komersial senilai Rp 29,7 triliun, tetapi jauh di atas narkoba yang hanya Rp 12 triliun. (Kompas, 28 Desember 2006). Dengan demikian jelas bahwa sektor seks bukan bagian yang dapat diremehkan dalam perekonomian Indonesia.

Tentu saja, tak elok menerima atau menolak prostitusi berdasarkan sektor itu menguntungkan atau merugikan. Ada persoalan yang jauh lebih substansial dan rumit daripada persoalan itu. Yakni ada persoalan politik pembangunan yang membuat siapa menjadi apa. Saya yakin, persoalanini tidak tersentuh oleh ke 1.200 orang yang mulia itu.

Saya ingin buktikan. Kecenderungan para PSK itu datang dari daerah-daerah tertentu.

Ada beberapa kriteria profil sending area itu. Pertama, daerah dimana banyak anak perempuan dan perempuan yang tingkat drop out (DO) sekolahnya tinggi. Kedua, daerah yang banyak anak perempuan atau perempuan yang tingkat usia produktifnya tinggi. Ketiga, daerah dimana banyak anak perempuan dan perempuan yang tingkat pernikahan dininya tinggi. Keempat, daerah dimana banyak anak perempuan dan perempuan yang tingkat perceraiannya tinggi. Kelima, daerah yang akses terhadap informasinya rendah. Keenam, daerah yang sumber produksinya rendah atau akses terhadap sumber produksinya rendah.

Dengan demikian, bagi saya menjadi prostitut atau bukan hanyalah persoalan waktu dan tunggu pemicu. Yang membedakan hanyalah apakah masuknya perempuan ke prostitusi itu dengan kerelaan yang terpaksa atau karena ditipu. Siapa pun kita, mungkin menjadi prostitut jika kita berasal dari daerah-daerah tersebut.


* Perbedaan dalam estimasi ekonomi berasal dari perkiraan yang berbeda-beda dalam hal jumlah pekerja seks di industri tersebut. Dengan estimasi 140.000 pekerja seks, perputaran uang tahunan diestimasi mencapai US$1,18 miliar (Rp. 10,62 triliun) sedangkan dengan estimasi 230.000 pekerja seks yang bergerak dalam industri itu, penghasilannya diduga mencapai US$3,3 miliar (Rp. 29,7 triliun) (Hull et al., 1998: 53).

** Saya sudah mencoba menghitung uang yang beredar di sebuah panti pijat, yang sering dianggap sebagai industri seks terselubung, di Bandung. Kalau diasumsikan panti pijat tersebut itu tiap hari sedikit pengunjungnya selama satu bulan penuh, pemilik panti pijat tersebut tetap dapat mengantongi uang sebesar Rp. 18 juta!

Perempuan itu adalah ibuku....

Perempuan itu masih tetap bekerja melayani para pembeli. Tak sedikit pun terlihat rona lelah apalagi keluh. Nampaknya lelah dan keluh tak ia simpan dalam kosa kata kehidupannya. Meski ia berjualan, untung rugi tak pernah singgah di pikirannya. Baginya berjualan bukanlah arena bisnis untuk meraup untung. Arena itu ia gunakan untuk bertegur sapa dan bercengkrama dengan sesama. Dari logika ekonomi, sungguh perilaku itu sangat keliru. Bahkan tolol. Tapi dari logika sosial, …ah menjadi takjub aku dibuatnya.

Perempuan itu tidaklah pintar. Sekolah yang ia kenyam hanyalah sampai tingkat SR (Sekolah Rakyat). Itu pun tidak ia tuntaskan. Sangat sedikit ia tahu tentang sesuatu. Tetapi ia pandai membuat orang lain lancar dalam urusannya meski untuk itu ia harus mengeluarkan energi dan materi. Tak pernah ia meminta balas. Harap memang ada. Tapi nampaknya ia bukanlah tujuan utama. Baginya, hadir dan mengalir bersama orang lain menjadi kenikmatan dalam ukurannya sendiri. Ia memang memiliki rumus hidup yang tak dapat ditiru dan dilakukan orang lain.

Perempuan itu sangatlah perkasa dalam arti sesungguhnya. Suaminya sudah meninggal dunia dan ia semakin perkasa. Ia begitu banggga dan mencintai suaminya justru ketika kekasihnya itu meninggalkannya untuk selama-lamanya. Seolah-olah apa yang pernah diucapkan diucapkan suaminya dulu ia tempat sebagai sabda pandhita ratu. Tetapi apakah dengan terus-menerus mengikuti titah sang kekasih ia tak lagi mandiri? Ternyata tidak. Ia ternyata mampu menempatkan titah itu sebagai pelajaran bukan perintah. Ia dapatkan pengetahuan itu tidak dari mana-mana, melainkan dari pengalaman hidup bersama dengan sang kekasih. Ah..sungguh ia telah mentransformasikan pengalamannya menjadi pengetahuan. Ia sungguh telah menjelma menjadi manusia dewasa. Ia seolah mengajari dengan cara berbeda bahwa kedewasaan tidaklah sama dengan bertambahnya umur. Setiap orang tumbuh dan bertambah umur. Tapi bukan berarti dewasa kalau tidak mentransformasikan pengalaman menjadi pengetahuan. Ia hanya berhenti menjadi sosok anak-anak yang bertubuh bongsor. Ajaib!

Perempuan itu lembut dan melembutkan. Kelembutan yang ia miliki tidaklah karena ia perempuan –sesuatu yang secara salah kaprah selalu dilekatkan kepada tubuh yang atau ingin bervagina dan berpayudara, melainkan sebagai cara yang ia miliki untuk mensiasati tekanan. Karena kelembutan itulah maka ia tidak mudah dipatahkan. Ia menjadi sosok yang tegar dan kokoh justru dengan kelembutannya. Ah..aku jadi tahu ternyata kelembutan, ketegaran, kekokohan dan bahkan kekuatan bukanlah perkara jenis kelamin, melainkan persoalan pilihan dan proses pembelajaran. Ia adalah sesuatu yang invented, sesuatu yang ditemukan bukan diberikan.

Perempuan itu sangatlah cantik justru karena aku mencintainya. Kita menangis atau tertawa karena kita sedih atau gembira. Bukan kita sedih atau gembira karena kita menangis atau tertawa. Begitu pula, dia begitu cantik karena aku mencintainya. Sesuatu yang pribadi. Sesuatu yang personal. Memang. Tapi dengan mencintainya aku bisa hidup dan menjalani kehidupan.

Perempuan itu adalah ibuku….

Sejarah Sebagai Watak

Ada satu hal mengapa orang harus belajar sejarah. Satu hal itu adalah kejujuran. Sejarah adalah sebuah pertanggungjawaban kepada tiga masyarakat sekaligus: masyarakat masa lalu, masyarakat masa kini dan masyarakat yang akan datang. Sebagai sebuah pertanggungjawaban, maka objektivitas peristiwa mendapat tempat untuk diagungkan.

Proses penceritaan kembali peristiwa yang dianggap sejarah memang tidaklah gampang. Di sana akan ditemui kendala untuk berendah hati (baca: bersikap jujur) mengungkap apa yang benar-benar terjadi. Apalagi kalau itu menyangkut pelaku sejarah yang mengingat-ingat bahkan mematut-matut perannya dalam peristiwa yang diceritankannya.

Belajar sejarah adalah belajar untuk menanam, memupuk, mengembangkan serta mengekalkan sikap untuk adil kepada siapa saja. Kepada masa lalu yang mempunyai hak untuk ditempatkan dan diceritakan apa adanya. Kepada masa kini yang mempunyai hak untuk mendapatkan cerita apa adanya. Kepada masa depan yang mempunyai hak mendapat bekal agar tidak jatuh pada lubang yang sama.

Belajar sejarah adalah belajar menumbuhkan sikap demokratis. Sejarah terlahir dari sebuah atau beragam pertanyaan. Jawaban atas pertanyaan tersebut tidaklah diwajibkan sama. Dibutuhkan sikap empati terhadap orang lain yang berpegang pada jawabannya masing-masing. Biarlah kebenaran diberikan kepada konteksnya.

Belajar sejarah adalah belajar tampil dengan modal yang dimiliki tanpa meminjam, menambah, mengurangi. Citra pada akhirnya akan tampil sesuai dengan aslinya. Semogalah kita belajar menghayati dimensi kualitas. Sebab segala innerlichkeit, jati diri, kita sebenarnya mendambakan arti, makna, mengapa dan demi apa kita saling bergandengan yang berkreasi aktif dalam sendra tari agung yang disebut kehidupan.

Belajar sejarah adalah belajar memupuk keberanian untuk menyalahkan diri sendiri apabila memang kita salang melangkah. Kesalahan langkah kita bisa saja disebabkan oleh sikap kita yang tidak tahu atau bisa juga disebabkan jalan kita yang dibelokkan. Kalau begitu, sejarah juga merupakan pergumulan antara nurani dan ambisi. Cerita tentang manusia yang saling mengekspresikan kemanusiaannya masing-masing.

Pada akhirnya belajar sejarah adalah belajar tentang kehidupan itu sendiri dengan guru yang tak pernah bisa dibatasi. Sebuah proses belajar yang tidak harus disempitkan menjadi kuliah atau sekolah, melainkan belajar dalam makna yang universal. “Historia vitae magistra” lirih Huizinga.