‘Dipahami bahwa orang dewasa tahu lebih banyak. Tidak diharapkan bahwa anak-anak bicara di hadapan orang dewasa. Mereka bertanya ‘Siapa yang besar? Siapa yang tua? Kamu atau saya? Kenapa kau lancang bicara?’ (laki-laki, usia 14 tahun, Bangladesh)
Pengantar
Partisipasi merupakan istilah yang relatif baru di Indonesia. Istilah ini baru masuk dalam khasanah bahasa Indonesia dimulai ketika dimasukkan dalam kamus Indonesia-Inggris oleh John M. Echol dan Hassan Shadily pada tahun 1980. Dengan demikian, dalam khasanah sosial, dimungkinkan partisipasi relatif lebih baru lagi.
Karena relatif baru inilah, maka pemaknaan terhadapnya demikian beragam. Sehingga kita sangat kesulitan untuk membedakan mana partisipasi dan mana mobilisasi. Dalam usia yang relatif baru ini, partisipasi bermakna turut serta atau ikut ambil bagian dalam menjalankan program atau kegiatan dari merencanakan sampai pada evaluasi. Dalam alam pikiran masyarakat yang berkembang, partisipasi bermakna lebih sebagai membayar atau sumbangan dalam bentuk uang atau benda. Dalam makna tersebut, partisipasi tak beda jauh dengan mobilisasi.
Persoalan baru timbul dan perbedaan pendapat akan terasa, jika partisipasi tidak sekedar dijunjung sebagai konsep. Tetapi dihadapi sebagai konsep yang dicobaterapkan dalam konteks relasi sosial. Ketika partisipasi diletakkan dalam relasi sosial, maka konsensus berakhir dan diskusi dimulai. Dalam memberikan rasionalisasi atas partisipasi tiap pihak akan mencari persepsinya, perspektif dipertegas dan pendapat segera bersimpang-jalan.
Dominasi Mitos
Ide tentang peran sosial anak ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing. Ide tersebut menjadi asing karena lebih disebabkan oleh, pertama, pembangunan yang dilakukan serta cara pandang orang dewasa dalam lingkup pergaulan sehari-hari baik di lingkungan setempat maupun di rumah, menempatkan peran sosial anak pada posisi marjinal. Dengan demikian marjinalisasi peran anak terjadi lebih disebabkan oleh statusnya sebagai anak, bukan oleh posisi sosial dan kelasnya.
Kedua, berkaitan dengan pandangan terhadap status anak yang dianggap sebagai manusia yang belum matang dan dalam proses tumbuh kembang. Pandangan psikologis ini begitu dominan sehingga nyaris menutupi pandangan sosial. Pandangan ini bermula sejak akhir abad ke-19 yang berkembang di Barat. Dalam periode ini anak dikonseptualisasikan sebagai irasional, belum lengkap dan dalam tahap menjadi. Seiring dengan kolonialisasi, pandangan ini mengalami pengglobalan dan menjadi alat penaklukan.
Sementara, pandangan sosial melihat bahwa kapasitas anak untuk berpartisipasi bukanlah persoalan kesiapan anak, melainkan adalah apakah lingkungan yang diciptakan memberikan ruang bagi anak untuk berpartisipasi atau malah merepresinya? Memberikan ruang bagi anak untuk berpartisipasi merupakan langkah politis yang bisa mensubversi posisi istimewa orang dewasa. Maka tidaklah aneh, kalau kemudian subordinasi atau marjinalisasi peran-peran sosial anak direproduksi terus-menerus melalui sistem pendidikan yang menempatkan guru pada posisi yang desesif.
Upaya Merubah Pandangan
Keterlibatan anak dalam setiap upaya perubahan sosial, sebenarnya bukanlah sesuatu yang mustahil. Di dunia internasional, setiap kebijakan yang dibuat atau upaya pembangunan yang akan berdampak terhadap kehidupan anak, keterlibatan anak dimandatkan untuk dijadikan variabel. Konvensi Hak Anak, misalnya, menempatkan keterlibatan anak sebagai salah satu prinsip konvensi tersebut.
Dengan demikian, pengakuan legal atas keterlibatan anak semestinya menjadi pijakan bagi upaya pembangunan, mulai dari level pemerintah pusat maupun sampai level RT. Namun meskipun demikian, nampaknya harus diakui bahwa melibatkan anak dalam setiap hal di negeri ini bukan datang atas kebaikan hati pihak-pihak di luar anak. Ruang untuk terlibat dalam urusan publik dan bahkan kebijakan yang akan berdampak pada kehidupan anak harus direbut. Tidak oleh siapa-siapa, tetapi oleh anak itu sendiri.
Di beberapa kawasan, upaya merubah status dan pandangan terhadap anak telah dicobaterapkan. Pembelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman beberapa kawasan tersebut adalah anak dibangun dan membangun peran-peran sosialnya melalui komunitas-komunitas anak-anak. Komunitas dan penguatan komunitas ini begitu signifikan jika dilihat bahwa melalui komunitaslah anak bersama sebayanya menyuarakan hak yang semestinya diterima oleh mereka.
Maka, mendorong peran anak untuk terlibat dalam perubahan sejatinya diarahkan kepada. Pertama, penguatan kapasitas anak dan komunitasnya tidak lagi dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak, melainkan bersama anak. Ini bermakna bahwa partisipasi tidak saja dimaknai sebagai tujuan, melainkan juga sebagai proses. Penguatan kapasitas dan komunitas anak ditempuh sebagai langkah pertama lebih karena orang dewasa tidak mungkin memberikan posisi istimewa yang dimilikinya untuk dibagi dengan anak-anak. Dengan demikian, ruang-ruang bagi partisipasi anak harus dilakukan dengan cara direbut, bukan menunggu diberikan oleh orang dewasa. Kedua, tuntutan terhadap orang dewasa untuk memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap partisipasi anak. Langkah ini meskipun sulit tapi bukan berarti tidak mungkin. Di Ladakh, India, menggambarkan situasi perubahan pandangan orang dewasa terhadap peran anak terjadi. Seorang Dewan Pendidikan Eksekutif menuliskannya sebagai berikut:‘Dulu ada tendensi untuk mengabaikan anak-anak, tapi sekarang kami telah memulai proses ini dengan melibatkan mereka, anak-anak telah memotivasi orangtuanya dan warga desa, mereka telah membuat banyak perubahan yang positif.... Komite Anak-anak untuk pengembangan desa memperbolehkan anak-anak untuk berpartisipasi dengan orang dewasa dalam membuat sistem pendidikan berfungsi.’ (Claire O’Kane, tanpa tahun).
Ketiga, sebagai seorang warga negara, anak-anak berhak untuk mendapatkan jaminan dari negara agar peran-peran sosialnya terlindungi dan tidak tercederai. Mencari landasan untuk masalah ini tidaklah sulit. Pertama, pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990. Sebagai negara peratifikasi, mempunyai kewajiban untuk menyetujui dan mendukung sepenuhnya isi konvensi yang ada dalam konvensi, menjalankan isi konvensi tersebut, menyesuaikan perundang-undangan nasional dengan isi konvensi serta membuat laporan periodik tentang implementasi konvensi di negara-negara bersangkutan. Kedua, pada tahun 2002, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU No. 23 tentang Perlindungan Anak. Dengan demikian, partisipasi anak sebenarnya telah memiliki basis legalitasnya.
Penutup
Memang diakui bahwa semua kita tidak secara tiba-tiba menjadi warga yang bertanggungjawab dalam waktu semalam hanya karena mencapai usia tertentu. Semua kita (anak-anak dan orang dewasa) mesti belajar untuk menjadi warga melalui proses kita sehari-hari di lingkungan rumah, komunitas, sekolah dan di level pemerintahan.
Dengan cara belajar semacam itu, diharapkan semua kita sampai pada suatu kesadaran bahwa mengabaikan pandangan anak sama dengan membahayakan kualitas hidup dan menghambat pencapaian potensi mereka secara penuh, baik kini maupun mendatang. (Victoria Johnson & Edda Ivan Smith, 2002)
Catatan pengalaman di beberapa kawasan sejatinya mampu menohok pikiran kita bahwa partisipasi anak bukanlah tidak pernah terjadi, melainkan tidak pernah dikaji. Tak pantas mengharapkan anak-anak sebagai harapan bangsa sambil diam-diam atau terang-terangan kita mengabaikan peran-peran mereka untuk menjadi sosok harapan bangsa.