Menjadi pembantu rumah tangga, kita tidak punya kekuasaan terhadap hidup kita sendiri. Tidak ada yang menghargai kita. Kita tidak punya hak. Ini pekerjaan yang paling hina.
Dikutip dari Human Rights Watch (2006)
Anak-anak bekerja sebagai pekerja rumah tangga, di Indonesia bukanlah hal yang aneh. Dalam catatan panjang sejarahnya, Fenomena ini tumbuh seturut dengan tradisi yang digunakan untuk melakukan mobilitas vertikal atau sebagai bentuk pengabdian seorang kawula terhadap seorang gusti. Seiring dengan perkembangan dan masuknya kolonialisme, hubungannya berubah menjadi hubungan yang dihargai secara material dengan diberi upah.
Singkat madah, dengan segala variasinya, fenomena ini terus tumbuh dan masih eksis sampai sekarang. Tapi meskipun demikian, perubahan pola hubungan ini tidak serta merta mendorong ke arah perubahan perlakuan dan penempatan pekerja rumah tangga sebagai bagian dari bentuk profesi. Padahal, profesi ini bisa dikatakan profesi yang banyak dimasuki oleh anak-anak, dan tentunya orang dewasa, sebagai alat untuk mobilitas vertikal.
Sejauh ini, pekerja rumah tangga anak (PRTA) memang belum menjadi perhatian banyak pihak. Lokasi-lokasi yang tersebar dan tersembunyi di wilayah domestik membuat persoalan PRTA menjadi tidak diketahui besaran masalahnya. Keadaan ini membuat situasi dan kondisi yang dihadapi PRTA menjadi tidak tergali.
Kendati besaran angka PRTA belum diketahui secara persis dan diterima oleh banyak pihak, namun situasi dan besaran masalah yang dihadapi PRTA relatif memiliki kesamaan. Pertama, dilihat dari segi lokasi, keberadaan PRTA berada di wilayah yang dianggap privat. Dengan lokasi yang demikian, keberadaan PRTA menjadi tersebar, tertutup dan tersembunyi. Sehingga tak aneh kalau kasus-kasus kekerasan fisik, psikis maupun seksual yang menimpa PRTA menjadi sulit terungkap.
Kedua, dilihat dari segi status, pekerja rumah tangga belum dianggap sebagai pekerja dan tidak termasuk dalam peraturan ketenagakerjaan nasional yang menjamin hak-hak dasar di bidang ketenagakerjaan. Jasa rumah tangga tidaklah dianggap sebagai pekerjaan formal melainkan sebagai sebuah hubungan informal antara pekerja dan majikannya. Sehingga tidak salah kalau kemudian serikat PRT yang mampu menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan PRT sangatlah langka.
Ketiga, tidak ada kerangka perlindungan hukum yang jelas atas posisi PRT atau PRTA. Hal ini terlihat dari tidak adanya departemen yang bertanggung jawab dan memiliki wewenang untuk mengatur dan mengontrol situasi kerja PRT atau PRTA.
Akibat dari tidak adanya kerangka perlindungan hukum ini, standardisasi upah minimum, beban kerja serta jam kerja pun tidak didapatkan oleh PRT atau PRTA. Dampak dari tidak adanya standar ini, maka persoalan kesehatan, waktu luang serta akses terhadap informasi dan pendidikan tergantung pada kebaikan majikan.
Situasi-situasi seperti itulah yang sebenarnya memperlihatkan bahwa fenomena PRTA adalah fenomena pelanggaran yang berkelanjutan dan meluas atas hak-hak PRTA sebagai anak, perempuan, pekerja, warga negara dan manusia. Sementara, dengan tarikan nafas yang sama, fenomena PRTA sebenarnya memperlihatkan bagaimana proses transformasi dari miskin secara ekonomi à miskin pendidikan à miskin informasi à miskin sosial dan berujung di miskin terhadap akses. Inilah substansi bahwa dengan bekerja anak sebenarnya sedang memperpanjang kemiskinan.
Godaan untuk langsung menuduh kemiskinan sebagai faktor, tentu tidak menjelaskan apapun. Pun menempatkan budaya pada kursi terdakwa, tentu tidak memberikan semangat apapun.
No comments:
Post a Comment