Sebanyak 1.200 orang petugas, termasuk ormas Islam, mengepung Saritem. Warga Saritem serasa diperlakukan sebagai teroris. Saritem sebagai sebuah lokalisasi memang telah berumur tua, bahkan sangat tua. Di kawasan itu ada sebanyak 428 orang calo, pengangguran 788 orang, pedagang 96 orang, mucikari 205 orang serta (kurang lebih) 500 orang PSK.
Bagi pemerintah, dengan penutupan itu, tertunaikanlah tugasnya untuk menjaga Kebersihan, Ketertiban dan Keindahan (K3) Kota. Semnetara, bagi kaum agamawan, tertunaikanlah kewajibannya untuk memerangi segala kemaksiatan dan penghancur moral bangsa. Yang satu amanat rakyat. Sementara yang satunya lagi perintah suci dari Tuhan
Ah…sungguh mulia ke 1.200 orang itu. Tak aneh, memang. Di kebanyakan kita moralitas suatu bangsa diletakkan di tubuh perempuan, wa bil khusus, di vaginanya. Oleh karena itu, kalau saya dilahirkan kembali, maka saya akan meminta kepada Tuhan untuk dilahirkan sebagai laki-laki saja. Menjadi perempuan itu sangat menderita dan penuh dengan beban.
Lihatlah RUU APP yang lebih menyerupai RUU alat kelamin. Dan alat kelamin yang dimaksud adalah alat kelamin perempuan. Lihatlah juga perda-perda anti kemaksiatan yang lebih banyak mengorbankan perempuan. Di beberapa daerah bahkan ada perda-perda yang melarang perempuan keluar malam. Kenapa perempuan dilarang keluar malam? Apa takut ada yang nyolek, ganggu dsb? Kalau itu persoalannya, kenapa tidak lantas membuat perda dilarang nyolek atau ganggu? Sehingga setiap kita (laki-laki dan perempuan) bisa menikmati kehidupan dengan lebih leluasa dan lega tanpa ada perasaan takut dicolek atau diganggu di malam hari sekalipun. Ah…sepertinya tubuh perempuan itu penuh atau pengundang dosa sehingga perlu diatur, dikontrol, ditaklukkan.
Bagi saya, mengaitkan moralitas dengan prostitusi sungguh naif dan hanya enak untuk mendapatkan jatah di surga. Bagi saya, prostitusi lebih berdimensi sosial-politis-ekonomis daripada moral. Dengan tarikan nafas yang sama, saya ingin bilang bahwa suprastruktur (moral, kesadaran) ditentukan oleh infrastruktur (kondisi sosial, ekonomi dan politik). Mengaitkan prostitusi dengan moral membuat kita tidak kategoris dalam melihat dan menyelesaikan persoalan. Sehingga yang terjadi adalah moralisasi persoalan sosial, ekonomi dan politik. Artinya menggunakan moral untuk mengukur persoalan sosial-politik-ekonomi. Itu ibarat beli beras satu meter. Ukurannya tidak pas. Seharusnya beli beras itu satu liter.
Dimensi ekonomi prostitusi
Berdasarkan tinjauan umum terhadap industri seks, Hull et al. memperhitungkan bahwa setiap tahun sektor seks menikmati penghasilan antara US$1,18-3,3 miliar (Rp. 10,62-29,7 triliun, dengan kurs US$1=Rp. 9.000,-).* Jumlah ini belum termasuk industri-industri terkait seperti penerimaan yang dinikmati hotel, rumah makan dan bar, penjualan bir dan alkohol, rokok dan parkir. Sebagai dasar perbandingan, pada tahun 2001 industri hotel menghasilkan Rp. 7,7 triliun. Demikian pula dengan industri kehutanan yang menghasilkan US$1,7 miliar (Rp. 15,40 triliun) dan jasa perusahaan menghasilkan US$2,2 miliar (Rp. 19,7 triliun) (BI, 2001). **
Kombes Anton Charlian, Kepala Unit III Trafficking in Person, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI, memperkirakan peredaran uang dari kegiatan perdagangan manusia tahun 2005 mencapai Rp 23,7 triliun. Ini berarti sedikit di bawah kegiatan pekerja seks komersial senilai Rp 29,7 triliun, tetapi jauh di atas narkoba yang hanya Rp 12 triliun. (Kompas, 28 Desember 2006). Dengan demikian jelas bahwa sektor seks bukan bagian yang dapat diremehkan dalam perekonomian Indonesia.
Tentu saja, tak elok menerima atau menolak prostitusi berdasarkan sektor itu menguntungkan atau merugikan. Ada persoalan yang jauh lebih substansial dan rumit daripada persoalan itu. Yakni ada persoalan politik pembangunan yang membuat siapa menjadi apa. Saya yakin, persoalanini tidak tersentuh oleh ke 1.200 orang yang mulia itu.
Saya ingin buktikan. Kecenderungan para PSK itu datang dari daerah-daerah tertentu.
Ada beberapa kriteria profil sending area itu. Pertama, daerah dimana banyak anak perempuan dan perempuan yang tingkat drop out (DO) sekolahnya tinggi. Kedua, daerah yang banyak anak perempuan atau perempuan yang tingkat usia produktifnya tinggi. Ketiga, daerah dimana banyak anak perempuan dan perempuan yang tingkat pernikahan dininya tinggi. Keempat, daerah dimana banyak anak perempuan dan perempuan yang tingkat perceraiannya tinggi. Kelima, daerah yang akses terhadap informasinya rendah. Keenam, daerah yang sumber produksinya rendah atau akses terhadap sumber produksinya rendah.
Dengan demikian, bagi saya menjadi prostitut atau bukan hanyalah persoalan waktu dan tunggu pemicu. Yang membedakan hanyalah apakah masuknya perempuan ke prostitusi itu dengan kerelaan yang terpaksa atau karena ditipu. Siapa pun kita, mungkin menjadi prostitut jika kita berasal dari daerah-daerah tersebut.
* Perbedaan dalam estimasi ekonomi berasal dari perkiraan yang berbeda-beda dalam hal jumlah pekerja seks di industri tersebut. Dengan estimasi 140.000 pekerja seks, perputaran uang tahunan diestimasi mencapai US$1,18 miliar (Rp. 10,62 triliun) sedangkan dengan estimasi 230.000 pekerja seks yang bergerak dalam industri itu, penghasilannya diduga mencapai US$3,3 miliar (Rp. 29,7 triliun) (Hull et al., 1998: 53).
** Saya sudah mencoba menghitung uang yang beredar di sebuah panti pijat, yang sering dianggap sebagai industri seks terselubung, di Bandung. Kalau diasumsikan panti pijat tersebut itu tiap hari sedikit pengunjungnya selama satu bulan penuh, pemilik panti pijat tersebut tetap dapat mengantongi uang sebesar Rp. 18 juta!
No comments:
Post a Comment