Anak yang berkonflik dengan hukum (chidren in conflict with the law) menjadi penting untuk diperhatikan tidak saja dilihat dari penyebab seorang anak berkonflik dengan hukum. Lebih dari itu persoalan ini menjadi begitu penting bila dikaitkan dengan situasi yang dihadapi anak yang berkonflik hukum.
Yang sering terjadi ketika seorang anak berkonflik dengan hukum adalah tertutupnya akses ke sekolah (pendidikan). Jika anak tidak menyatakan keluar dari sekolah, maka yang terjadi adalah sekolah mengeluarkan anak tersebut. Bagi sekolah, menerima kembali anak yang pernah berkonflik dengan hukum tentu bertolak belakang dengan upaya mejaga citra sekolah.
Dalam satu kasus yang melibatkan seorang anak perempuan yang berkonflik dengan hukum, langkah minimal yang sebenarnya bisa dilakukan oleh sekolah untuk memberikan keterangan meringankan kepada anak perempuan tersebut tidak juga dilakukan oleh sekolah di mana anak perempuan tersebut belajar.
Sekolah, sebagai lingkungan kedua setelah keluarga, tempat anak-anak belajar dan menghayati nilai-nilai, dalam banyak kasus sulit diharapkan untuk memberikan dukungan kepada anak didiknya yang sedang berkonflik dengan hukum. Sementara pada sisi yang sama, dukungan merupakan kebutuhan elemen bagi anak yang berada dalam situasi dan posisi sedang berkonflik dengan hukum.
Dengan tarikan nafas yang sama, perlindungan untuk anak yang berkonflik dengan hukum menjadi patut juga untuk diperhatikan. Pelanggaran dan kekerasan yang sering terjadi dilakukan oleh aparat penegak hukum menjadi legitimasi dibutuhkannya perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum.
Aparat penegak hukum, sesuai dengan fungsinya, dalam menjalankan fungsi tersebut berada dalam batas-batas antara apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Batas-batas tersebut mewujud dalam bentuk aturan perundang-undangan, mekanisme penanganan dan aturan teknis lainnya menjadi pegangan bagi aparat penegak hukum dalam memperlakukan anak atau sesorang yang melanggar pidana. Pegangan tersebut dimaksudkan selain bagaimana menangani, juga dimaksudkan untuk melindungi pelanggar pidana, khususnya anak.
Di titik ini, ketika aparat penegak hukum melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang ada, maka yang sebenarnya terjadi adalah bukan saja aparat penegak hukum melanggar peraturan tersebut. Lebih dari itu, persoalan yang serius adalah telah terjadinya pelanggaran HAM.
Dalam praktek, kekerasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum tidak saja datang dari aparat penegak hukum, melainkan juga dari sesama tahanan. Hal semacam ini menjadi mudah dipahami karena pada kenyataannya, tahanan anak sering disatukan dengan tahanan dewasa. Dalam situasi semacam itu, kekerasan atau perlakuan salah lainnya dari sesama tahanan yang lebih dewasa menjadi mudah terjadi.
Persepsi yang berkembang di masyarakat pun cenderung tidak berpihak kepada upaya pemulihan dan reintegrasi anak ke dalam masyarakat. Stigma yang telah melekat sebagai kriminal menjadi batas yang tegas antara anak dan masyarakat. Dalam batas yang tegas itu, anak berperilaku di atas batas tersebut dan menghayati batas itu sebagai perilaku yang permanen.
Demikian rentan posisi dan situasi anak yang berkonflik dengan hukum ini, mempunyai implikasi kepada dibutuhkannya penanganan dan perlindungan yang berbasis pada hak-hak anak. Mencari basis bagi pemerintah Indonesia tidaklah asing dan sulit. Konvensi Hak Anak sebagai basis universal bagi penghormatan dan perlindungan hak anak telah lama diratifikasi oleh pemerintah Indonesia
Dalam konvensi tersebut dicantumkan empat hak dasar anak yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara peratifikasi. Keempat hak dasar itu adalah hak bertahan hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan hak partisipasi.
Selain menyebut empat hak dasar, Konvensi Hak Anak juga mengandung empat prinsip untuk terselenggaranya pemenuhan atas empat hak dasar tersebut. Keempat prinsip itu adalah non diskriminasi, yang terbaik bagi anak (best interest of the child), kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development) dan penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child).
Meski secara konsepsi konvensi tersebut telah diadopsi menjadi hukum positif di negara Indonesia, namun pada wilayah praksis, pola yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menangani persoalan dan penanganan anak yang berkonflik dengan hukum sering memperlihatkan praktek-praktek yang bertentangan dengan empat hak dasar anak serta empat prinsip yang tertuang dalam Konvensi Hak Anak tersebut.
Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia dimasukkan ke dalam sistem peradilan pidana. Secara umum peradilan pidana dibangun sebagai suatu mekanisme administrasi peradilan pidana dengan pendekatan sistem yang terdiri dari komponen-komponen kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam konsep dan praktiknya kemudian penjatuhan pidana dalam peradilan pidana lebih banyak ditujukan untuk memberikan pembalasan kepada pelaku tindak pidana. Tidak heran kalau kemudian sistem peradilan pidana yang ada memproduksi segala sesuatu yang sifatnya unwelfare --baik berupa perampasan kemerdekaan, stigmatisasi atau bahkan dera fisik bagi orang yang dinyatakan sebagai pelaku kejahatan, guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare. Ini tertuang dalam praktik sistem peradilan pidana sejak tahap penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, persidangan oleh pengadilan hingga puncaknya pemidanaan yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan.
Penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam spirit Konvensi Hak Anak, yang dioperasionalkan dalam Beijing Rules, Riyadh Guidelines dan The United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty, justru mengedepankan upaya-upaya untuk meminimalisir intervensi sistem peradilan pidana bagi anak guna mengurangi atau mencegah kerugian-kerugian pada diri anak yang diakibatkan oleh intervensi tersebut.
Dalam konteks ini, peradilan pidana ditujukan untuk memajukan sepenuhnya kesejahteraan anak berikut pemenuhan hak-hak dasar yang melekat atasnya (kendati diduga, bahkan telah terbukti melakukan kejahatan, hak-hak tersebut tetap melekat pada anak) serta memastikan bahwa reaksi apapun terhadap anak akan selalu sepadan, tidak hanya mempertimbangkan beratnya pelanggaran hukum namun juga mempertimbangkan keadaan-keadaan pribadi anak.
Dalam konteks ini, suatu kebijakan yang menyeluruh (tidak saja berkenaan peradilan pidana bagi anak, namun juga dengan upaya-upaya pencegahan seorang anak untuk berkonflik dengan hukum) dengan pendekatan yang mengedepankan pemajuan kesejahteraan anak pada gilirannya akan mengurangi intervensi sistem peradilan pidana bagi anak menjadi pentinguntuk diperhatikan.
Mengaitkan sistem peradilan pidana dengan anak jalanan merupakan sesuatu yang mudah dipahami. Kehidupan jalanan membuat anak jalanan mengembangkan pola hidup yang keras sebagai mekanisme untuk bertahan hidup. Tantangan kehidupan yang mereka hadapi pada umumnya berbeda dengan kehidupan normatif yang ada di masyarakat. Tantangan ini mempunyai implikasi yang berbeda dan bertolak belakang dengan pemahaman masyarakat umum dan juga peraturan perundangan-undangan. Dalam banyak kasus, kehidupan anak jalanan berkembang di bawah tekanan dan stigma sebagai penyakit masyarakat.
Dari segi kuantitas, peningkatan jumlah anak yang turun ke jalan pantas untuk diprihatinkan dan diperhatikan. Persoalannya tidak saja berdasarkan urusan normatif seperti tempat yang ideal bagi anak adalah sekolah, bukan jalanan. Lebih dari itu, jalanan merupakan ruang publik yang mempunyai logika dan mekanisme perkembangan yang khas. Karena sifatnya yang publik inilah maka segala macam persaingan dan norma yang berbeda dengan ruang privat terjadi.
Anak jalanan ketika berada dalam ruang publik semacam itu tentunya mengembangkan juga suatu mekanisme pengimbang sebagai sarana bertahan hidup. Mekanisme ini bisa berbentuk psikologis dalam arti cara menghayati peristiwa, sosiologis dalam arti mengembangkan relasi dan budaya dalam arti mencipta simbol-simbol.
Ketiga bentuk mekanisme ini relevan dengan problem yang membuat mereka turun ke jalan. Banyak yang menjadi alasan anak turun ke jalan disebabkan faktor ekonomi. Tetapi tidak sedikit pula yang mendorong anak turun ke jalan disebabkan oleh situasi di rumah atau perlakuan salah dari orang tua. Dengan demikian ada afinitas antara penyebab dan akibat sehingga mekanisme yang dikembangkan menjadi mudah dipahami.
Negara dan masyarakat memandang mekanisme yang dikembangkan oleh anak jalanan sebagai suatu bentuk anomali. Ini sangat beralasan bila dilihat dari cara memandang antara anak jalanan dengan negara dan masyarakat. Negara dan masyarakat memandang bersih sebagai sesuatu beradab. Sementara anak jalanan memandang kotor sebagai strategi bertahan hidup. Hal yang sama, negara dan masyarakat memandang mencuri sebagai suatu tindak kriminal. Hal yang sama pula dipandang oleh anak jalanan sebagai strategi mencari penghasilan. Bahkan negara dan masyarakat memandang anak jalanan sebagai suatu kelompok yang secara sosial tidak boleh tampil ke permukaan dengan menyebut mereka sebagai penyakit masyarakat.
Pada titik ini, anak jalanan dan hukum ibarat dua sisi yang saling mengawasi dan mensiasati. Hukum sebagai representasi dari keinginan masyarakat untuk menjaga dan mengatur kualitas hidupnya tidak mampu diikuti oleh anak jalanan karena status dan posisinya yang tidak memungkinkan. Maka tak aneh kalau anak jalanan mempunyai cap yang kurang positif dalam pandangan masyarakat.
Bagi anak jalanan, cap yang berikan oleh masyarakat mengalami penghayatan sehingga menjadi perilaku yang permanen. Perilaku inilah yang sering membuat anak jalanan berpeluang menjadi anak yang berkonflik dengan hukum.
No comments:
Post a Comment