Beruntung aku bisa menyaksikan Sharing in Strength of Love: The Four Fingered Pianist di Metro TV. Di tengah beragam acara TV yang kurang produktif, pementasan Hee Ah Lee memberiku semacam energi agar terus menerus untuk percaya pada kecenderungan. Kecenderungan menandakan adanya kehidupan. Adanya gerak. Semacam passion yang melahirkan kekaguman pada orang-orang yang bisa bergerak di tengah keterbatasasn, bahkan keterbelakangan.
Hee Ah Lee, seorang gadis berusia 21 tahun dengan 4 jari di tangan serta tinggi badan yang ‘hanya’ 103 cm, mengajakku untuk terus menjelajahi kebesaran dan keagungan melalui peristiwa kecil, peristiwa remeh temeh. Hmmmm...entah darimana datangnya watak manusia yang melulu percaya, bahkan hanya percaya, pada peristiwa-peristiwa besar seraya menafikan peristiwa kecil, remeh temeh dan sehari-hari.
Dengan melihat Hee Ah Lee, rasa salutku melayang pada sosok ibu Hee Ah Lee. Satu sosok yang kuat, sabar dan motivator kelas wahid yang sangat luar biasa. Berlebihankah? Aku rasa tidak. Dengan sosok semacam ibu Hee Lee, kita bisa belajar memupuk keyakinan bahwa kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan. Sejatinya, setiap kita percaya dan yakin pada potensi-potensi manusiawi kita, bagaimanapun keadaan kita.
Ah....sayang. Pendidikan yang kita terima dan kita jalankan nyatanya sangat jauh dari semangat semacam itu. Pendidikan kita cenderung memandulkan bahkan memberangus potensi-potensi manusiawi anugerah Tuhan. Yang terjadi dalam dunia pendidikan kita hanyalah teaching, bukan learning. Teaching lebih bermakna memasukkan dimana murid diibaratkan bejana kosong yang diisi air oleh guru yang tahu segalanya. Sementara learning lebih bermakna memanggil kembali (recalling) potensi-potensi manusiawi yang Tuhan berikan. Guru, dalam learning lebih berfungsi memfasilitasi daripada menggurui. Ah...jadi sinis juga tulisan ini. Maaf...maaf...maaf...
Dalam pementasan Hee Ah Lee, aku melihat tatapan penonton yang terkesima kagum, heran tak percaya seraya menitikkan air mata. Pikiran mereka disatukan oleh rasa takjub dan pesona luar biasa tentang kehebatan manusia yang terbatas dan terbelakang. Mulut mereka seolah keluar ucapan yang sama: “Subhanallah!”, “Puji Tuhan!”
Hee ah Lee, kau mengajari kami bahwa keterbatasan tidak berarti lemah. Kau menampar kami bahwa tubuh sempurna bukan berarti kuat dan digdaya. Kau mengajak kami untuk yakin dan percaya bahwa di dalam diri kita ada sisi-sisi manusiawi yang tidak menyerah kalah pada keadaan.
Terima kasih, Lee! Sampaikan rasa hormat dan kagumku pada ibumu..
Pamoyanan, 6 April 2007
21.10 WIB
No comments:
Post a Comment