Friday, May 4, 2007

Air sangat tahu dimana tempat untuk pulang..

Hujan merintik bukanlah titik dari segalanya melainkan koma. Suatu jeda untuk menunda. Suatu jeda petanda untuk menghela. Rintikan hujan pun mengetuk-ngetuk hatiku agar mengabstrasikan dirimu, kemudian mengajaknya untuk bicara lewat hati. Memperkaya arti kehadiranmu yang tiba di hati walau enggan untuk mewujud dan bersua. Rintikan dan gemercik air hujan jatuh dari atap genting, bisikan ke telinga. Bersama namamu, mengalir pada aliran darah, menghembus lewat nafas mengalir pada dada. Sesak untuk kukeluarkan kembali namamu pada kenyataan, lantaran kenyataan enggan untuk menerima. Ingin kulepaskan dinginnya angin dari hujan agar hadir kehangatan dalam selimut kerinduan. Hanya gemercik air hujan merintik yang menyatukannya, bayangan dirimu pada diriku yang nyata.

Adalah akumulasi dari pembauran antara cinta, dan benci terselip di sana. Menghela atas kekesalan dan kelelahan hati tanpa penyesalan yang tak kunjung tiba dan reda yang sementara jiwamu letih melunglai tergopoh-gopoh. Kucoba mengadu pada seruling bambu cheris the ladies atau suzanne ciani yang menyuarakan kerinduan. Mengadu pada kemerduan sendu geseken biola adagio yang menguras air mata hati. Mengadu pada denting piano james galway yang menyayat-nyayat hati penuh dengan replika kelembutan. Mengadu pada petikan dawai gitar david arkenstone yang apik kaya akan perhatian. Membaurkannya, lalu menghelus telinga, wangi harum oriental. Meluluhkan sukma, melebur bagai lilin yang memancarkan pelita hati di kegelapan di saat malam tak bergugus bintang gemintang dan rembulan pucat pasi.

Semesta aku sempitkan dari semula yang kujulurkan ke tiap titik sudut, menjadi sebuah dunia kecil yang soliter. Lalu rindu pun menjadi buta sampai tak tahu beda antara berani, malu, dan tak tahu diri. Jiwa tanpa sehelai tirai yang membalut. Hatiku bersisik-berisik-berbisik, risih dan resah, kacau dan galau, kalut terbalut kemelut: siapa sih diriku ini? Aku pun terlampau menjadi tuli untuk mendengar dan buta untuk melihat pada kenyataan, terasing usang dalam kerinduan cinta. Kepercayaan diri pada gilirannya tertinggal tanpa kendali seakan-akan tak berkendala. Komitmen selanjutnya terlampau menjauh, menepuk-nepuk separuh dada.

Rintikan hujan hari seolah membuat segalanya terlambat. Lalu kita mengatainya si penghambat di saat kita sibuk mencari jati diri sesejati mungkin lewat aktualisasi dan eksistensi. Kemudian kita alfa, bahwasanya rintikan hujan telah menjatuhkan dan menyampaikan tentang apa yang menjadi harapan. Ada jeda untuk menghela di sana. Ada koma agar mengingatkan untuk dan atas nama apa hidup ini.

Berat bagiku untuk mencintaimu. Sebaliknya, -bahkan-mungkin-, lebih berat bagimu untuk menerima diriku. Banyak hal sepertinya-sepatutnya mesti kamu hitung tentang diriku. Menghitung mulai dari apa yang nyata sampai pada apa yang tak nampak dalam diriku: miliku, rautku, pesonaku, dari mana asalku, siapa dan dari mana keturunanku, bagaimana perangaiku, sampai pada tingkat komitmenku -yang tengah diupayakan namun bukan hal yang remeh-temeh-, apakah menjanjikan atau tidak? Kemudian itu menjadikannya sebagai tolak ukur untuk kemudian membandingkannya dengan orang lain, dengan tetangga sebelah, dengan rekanan sekerja, dengan yang dikenalkan (untuk kemudian dipasangkan) oleh saudaramu, oleh ibumu, oleh pamanmu, oleh bibimu, dan oleh sederetan lainnya, sampai pada titik menukik: dengan bayangan yang datang menghampirimu lalu menjadikannya sebagai harapan. Kemudian hasrat untuk melompat-melampaui tepi dan batas menjadi tak terkendali seolah tanpa kendala. Pertimbangan demi pertimbangan diperoleh-diperolah dari berbagai macam hasil hitungan, taksiran ke depan, pada gilirannya membuahkan keputusan berupa kesimpulan. Kamu berkata, mungkin-seolah, sepadankah diriku dengan dirimu, atau barangkali adakah yang lebih?

Berat bagimu untuk menerimaku, berangkat dari apa yang ada kemudian menjadikannya bukan suatu yang taken for granted atau sesuatu yang given, sudah tergaris-luruskan dari sananya, sekan-akan. Terkadang tak mudah membedakan dan memisahkan mana takdir dan bukan. Apa yang semula dianggap berat dan menjadi takdir atau nasib terkadang bisa juga diubah, dinyatakan sekalipun lewat jalan terjal dan berikil tajam. Cinta, kasih, perhatian seakan jauh nun di surga seakan menjadi penantian final, pada gilirannya itu hanya milik mereka yang senantiasa manggut-manggut berdo’a, sembahyang, puasa, dan berkata amin (sola fide et sola gratia). Hanya untuk mereka yang tunduk dalam kepasrahan menerima apa adanya dengan daya tanpa upaya sekecil apapun. Enggan untuk berusaha meraihnya lewat ketulusan dan kecintaan yang diperjuangkan lewat kerelaan. Adalah harapan, suatu upaya yang rela untuk tidak memalingkan mata hati ke atas namun menundukkannya ke bawah. Kerelaan demi memperoleh genetika kata dari cinta: Pengertian.

Jangkauanmu dalam kurun berapa tahun silam hingga kini belum terjangkau. Aku tak berani menyampaikan janji pada komitmen diri yang berlipat-lipat, karena kutakut melompatinya. Kemudian hatiku berbisik, apakah aku ini hanya seorang pemimpi dan pembual belaka karena hanya memendam harapan tanpa pijakan pada kenyataan yang sementara. Aku khawatir jika bersikap apa adanya akan hampa nilai dan membuat hidup ini tanpa martabat. Hidup yang bergantung pada kecenderungan musim tergerus oleh kenyataan. Yang sepenuhnya dahaga aktualisasi dan haus eksistensi diri dengan mencerminkannya pada orang lain secara lebih, lalu tak tahu apa dan dimana sebuah identitas dan jati diri. Kubuka jendela kamar untuk menyatakan suara hati pada dunia, dunia kenyataan. Dan kenyataan pun terkadang muncul atas kehendak hati dan harapan pikiran.

Kenyataan bukan semata rasa pada raga
Apakah halus-lembutnya permukaan diterima sebagai kenyataan mana kala kulit dan pori-proinya terbakar? Apakah merdunya petikan gitar, sendunya denting piano, dan gesekan biola diterima sebagai kenyataan dikala telinga tuli? Adakah indahnya lansdcape panorama pantai dan nyiur melambai-lambai diterima sebagai kenyataan ketika mata buta? Apakah semerbak harum parfum de la Joei de Paris atau meledaknya bau kentut ubi dan telor dapat diterima sebagai kenyataan manakala hidung tersumbat flu dan pilek berat oleh derasnya hujan? Apakah manisnya gula asinnya garam dapat diterima sebagai kenyataan manakala lidah tertimpa air panas? Lantas, apakah cinta, kasih-sayang, dan perhatian diterima sebagai kenyataan manakala hati buta dan pikiran mengeras di kepala?

Jarak tinggalmu tak seberapa dari tempat diamku. Namun jangkauan jiwamu tak terjangkau jauh di sana, di Meulaboh, Cot Pidie, Aceh ujung Utara pulau Andalas. Sukmamu sulit kurengkuh jauh di sana, di Timika tetangga Wamena pulau Papua ujung Timur Nusantara. Kapankah tiba hatiku tambatkan agar biduk yang kuayuh berlabuh dalam sukmamu. Lebih kecil samudera Pasifik jika di banding dengan luas samudera Hindia. Berapa banyak kayuhku yang kubutuhkan untuk melabuhkan biduk kecilku agar hati tertambat pada hatimu?

Kepada Sang Pencipta hatiku, serukanlah isi hatiku lewat cinta dan kasih sayang kepada kenyataan! Pekikanlah isi sukmaku sekumandang lafadzmu seperti kumandang adzan! Tembuskanlah pancaranku dengan keagungan dan kekuatan-Mu kepada setiap tirai yang menghalau! Lumatkanlah nafsuku, ubahlah agar menjadi ketulusan!

Kepada Sang Pencipta hatiku: Jika ada wanita yang tersentuh olehku kemudian ia sakit, singkapkanlah tirai maaf untukku. Jika ada utang budi yang mesti kulunasi pada wanita, kepada Sang Pencipta hatiku agar ia diingatkan untuk tak enggan dan tak segan mengingat piutangnya. Jika hatiku yang melulu mengeras dan membatu, kepada sang Pencipta hatiku: Luluhkanlah!

Lalu aku menatap ke luar jendela, apakah angin yang menggerakan bendera di atas tiang atau bendera yang meggerakaan angin di atas tiang? Ternyata pikiranku dan hatiku yang bergerak.

Lalu air hujan turun dari langit mengalir ke tempat yang lebih rendah. Sang penggembala basah kuyup lekas berteduh di bawah pohon beringin, lalu gembala mengikutinya. Aku baru saja tahu bahwa air sangat tahu dimana tempat untuk pulang.

Bandung, 23 Oktober 2006

No comments: